#01

6 1 0
                                    

Kaniya POV
Sayup-sayup, suara burung derkuku menggema di ruangan yang tengah kupakai istirahat. Rasanya sangat bising sekali. Walau sudah bertahun-tahun melakukannya.

Sinar matahari masuk melalui celah kamar yang sangat sempit. Tak butuh waktu lama, aku membuka gorden selabar mungkin agar sinarnya dapat memasuki kamarnya. Kamar yang tadiya temaram, sekarang berubah menjadi terang sekali.

Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mandi. Mengguyur badan dengan air pagi hari mungkin akan lebih segar. Begitu pikirku. Kesegaran yang tiada tara.

Selesai ritual pagi hari sebelum sarapan, aku berjalan menuju ruang tengah. Ruang dimana makanan disajikan. Terdapat sebuah piring berserta kotak makanan dan sebuah note.

Makanlah yang kenyang nak. Ibu tidak ingin kau sakit. Kuharap kau suka lauknya♡♡♡
~Rema- Ibumu tercinta.

Seperti itu lah yang tertera pada kertas polos berwarna pink itu. Selalu meninggalkan note ketika hendak pergi bekerja. Selalu kukumpulkan note itu satu persatu. Dimana, setelah menikah nanti aku akan dapat mengingatnya betapa sayangnya dia padaku dulu.

Kembali ke topik awal.

Segera kumakan lahap makanan itu. Makanan yang begitu familier di lidahku. Oseng tempe dan tahu goreng. Sederhana. Namun ketika ibuku yang memasak, itu akan terkesan mewah.

"Oh, ternyata sudah pukul 06:05. Aku harus datang pagi kali ini," gumamku.

Tergesa-gesa sekali aku. Melihat jam sekarang menunjukkan pukul 06:20. Sedangkan sekolah masuk pukul setengah tujuh. Oooooooooh, bagaimana aku? Kalau dihukum bisa-bisa tamat riwayatku.

Shit, seperti yang aku bayangkan. Melihat gerbang tertutup rapat. Gembok yang bergoyang ria seakan mengejekku. Huhh. Sial sekali aku.

"Hey, kau juga terlambat," sebuah suara mengagetkanku.

"Eh iya. S-s-siapa kamu?" Tanyaku takut.

"Tenang. Aku bukan penjahat. Aku akan menolongmu. Mari," ajaknya.

Belum sempat menjawab apa-apa, dia sudah menarikku terlebih dahulu. Setengah berlari, ia membawaku pergi ke pagar belakang sekolah.

"K-kamu, ngapain bawa aku kesini?!" Tanyaku takut.

"Shut. Diam aja. Kamu mau sekolah kan?"  kujawab anggukan. "Kita bakal panjat pagar," lanjutnya santai.

"Apa!!!" Bentakku. "Ki-kita bakal panjat pagar?" Tanyaku gak ngerti.

"Iyaaaaaa. Lo ngomongnya jangan kencang-kencang ya!" Serunya.

"Oke," ucapku berusaha ngga gagap.

Nyebelin banget ni anak. Udah ngajak aku lari, manjat pagar lagi. Kalau begini, lebih baik aku tidak sekolah saja. Daripada nanti kalau aku sama cowo ini ketahuan guru piket kan bisa berabe nanti.

"Ada yang berusaha naik pagar ya?"

"Eh, Bu-bu Guru. Ngga kok bu. Cu-cuman liat orang naik pagar kok bu," jawabku gugup.

Baru saja dibatin udah muncul saja. Kena hukuman nanti akunya.

"Rivo. Kamu itu wakil ketos kok malah ngajarin adik kelasmu yang ngga-ngga. Biarin aja dia gak masuk. Lagipun dia cuman anak bodoh yang ada di sekolh kita," ujarnya tanpa peduli da aku di sana.

Degh

Bodoh, kata yang baru saja menusuk hatiku. Kalau saja aku berani, aku bakalan jawab guru itu. Akan lawan guru itu. Karena guru itu tak patut ditiru. Ngatain muridnya bodoh.

"Duh Bu Guruuu. Gak usah gitu deh bu-"

"Gak! Rivo kamu tidak usah membela dia. Kamu bersihin lapangan sekolah! Kaniya! Kamu diskors selama dua hari. Ti.tik."

Dengan terpaksa, aku melangkahkan kakiku yang terasa berat ini menuju luar sekolahan. Melihat cowo yang ternyata bernama Rivo tadi membuat hatiku terenyuh. Tidak seperti biasanya kalau telat bakalan berat hukumannya.

Tujuanku kali ini adalah sebuah danau yang terletak di samping rumahku. Harus berjalan sejauh 1km untuk sampai di rumahku. Lagi? Ya lagi.

Berharap kalau hujan tidak akan turun, karena langit sangat mendung. Berharap mentari akan kembali menyingkirkan mendung yang begitu menakutkan.

Lagipun dia cuman anak bodoh yang ada di sekolah kita.

Kalimat itu terngiang jelas. Sangat jelas. Bahkan aku dapat mendengarnya sangat jelas bagaimana guru itu mengucapkannya. Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Mengapa dulu aku diterima?

Mengapa aku dulu begitu disanjung kepala sekolah karena nilaiku?

Mengapa dulu aku begitu senang bersekolah di sini kalau sudah tahu akan seperti ini.

Seharusnya sekolah itu bangga punya siswa kaya aku gitu. Dah masuknya beasiswa, sering ikut lomba, mengharumkan nama sekolah. Lah ini kok malah dikatain bodoh.

Walaupun memang aku berasal dari keluarga yang pas-pasan, tapi ngga gitu juga kali. Mentang-mentang sini miskin trus situ bisa ngata-ngatain?

No.

Big no.

Sebeeeeeeeel. Banget. Udah di kelas sering dibully, sekarang malah dikata-katain. Hidup oh hidup.

"Eh, lo di sini yak? Sini bukan untuk anak miskin okeh. Minggir lo, lusuh banget pakaian lo. Eh, katanya siswa berprestasi. Tapi kok bolos. Katanya siswa teladan kok kabur pelajaran..." masih banyak ocehan lainnya. Tapi tak kuperdulikan.

"Stop!!! Aku diskors. Puas kalian?"

"W.O.W. Cewe tauladan kaya lo diskors? Kurang puas gue. Guys," katanya sambil memanggil anak buahnya.

Plak

Byur

Telur, tepung, air. Menjadi satu. Kayaknya aku selal sial dalam hidup. Ngga pernah beruntung gitu. Kini, seragamku kumal karena semua terkena telur dan tepung. Rambutku juga jadi menggumpal.

"Kalian jahat...hiks," tangisku.

"Oh, baru tahu kami jahat?"

"Ka-kalian siapa?" Tanyaku tak mengerti.

"Kenalin, gue Batricia Almela. Ini kembaran gue Bianca Alghamela. Dan ini temen gue Evelyn Nantaro. We, orang paling suka lihat lo menderita dari pada seneng. Dan ingat, Rivo pacar gue. Jangan coba-coba dekati dia. Atau, lo bakal tahu masalahnya," jelasnya.

"A-apa masalahnya?"

Mungkin mereka masih berfikir. Aku takut. Takut sekali. Sangaat. Berharap ada malaikat baik hati yang menolongku. Toloooong.

---



---

Selesai. Tolong dong, aku minta kritik dan saran kalian. Kalau kurang bagus dan ada yang salah. Sekalian jangan lupa pencet bintaaang.

Tbc

KaniyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang