Hujan mengguyur kota petang itu, tampak tidak ada tanda-tanda akan berhenti karena mendung saat itu masih terlalu enggan berlalu, malah makin parah seiring berjalannya waktu. Dan Soobin dengan terpaksa harus tinggal beberapa jam lagi di kafe klasik milik temannya. Letaknya tak terlalu strategis, terpencil diantara bangunan kafe-kafe modern dan berbagai restoran yang umurnya lebih tua, sehingga rasanya agak sulit menarik pelanggan, tapi satu-satunya kelebihan dari kafe ini adalah pegawainya yang masih fresh.
Lupakan tentang kafe, sejak langit mulai menumpahkan bulir air menjelang sore tadi, Soobin tak bosan-bosan mengutuk diri sendiri, mulai dari karena abai pada saran ibunya untuk membawa payung pink yang tersisa satu di rumah, lalu tentang uang di dompetnya yang mulai menipis, dan ide buruk untuk mampir ke kafe padahal jelas-jelas ramalan cuaca mengatakan bahwa hujan semakin deras menjelang malam. Well, menyesal tidak ada gunanya, setidaknya ia masih sempat memilih tempat berteduh yang hangat di tengah kota yang mulai membeku.
Soobin menyenderkan tubuh belakangnya pada meja kasir selagi matanya mengamati kucuran air hujan di luar sana. Ada Beomgyu di balik meja itu, sedang menghitung uang sambil menikmati cokelat hangat gratis yang ia dapat setelah merayu bosnya dengan aegyo dan sedikit ancaman yang terselubung.
"Mampus kau hyung, hujan tidak akan reda dan kau akan mendekam ditempat ini sepanjang malam." Beomgyu berujar dengan nada menyebalkan, pun dengan bagaimana raut wajahnya dibuat.
Soobin pada dasarnya sudah terbiasa dan tidak mudah termakan umpan. Alih-alih merasa jengkel, tawanya mengalun sebelum membalas dengan tampang idiot. "Terjebak hujan bersama kalian sepertinya tidak buruk."
Beomgyu menatapnya dengan angkuh. "Eum, kali ini kau masih bisa berkata begitu, tapi nanti setelah Seokjin hyung memintamu membantunya beres-beres dapur..." Kalimatnya sengaja dibiarkan menggantung. Sebagai ganti, bocah itu membuat gerakan tangan seolah memotong leher, jangan lupakan lidahnya yang menjulur dramatis.
Bahu lebar Soobin berkedik tak acuh, "Aku tidak akan keberatan kalau yang minta Seokjin hyung."
"Tapi dia tidak sebaik kelihatannya-"
Mungkin kalau dihitung ada sekitar dua sekon yang terlewat sebelum nampan kosong yang biasanya berisi kue-kue manis yang akan disimpan di dalam etalase itu terbanting kecil dengan suara nyaring. Dua orang lainnya berjengit dan yang baru saja berulah sedang berkacak pinggang sambil mengulas senyum terpaksa.
"Aku dengar itu bocah, berhenti membicarakanku! telingaku terasa panas. Lagipula aku bukan artis, aku hanya koki yang punya banyak penggemar."
Dahi Beomgyu sempat mendapat toyoran ringan dari Seokjin sebelum pria itu kembali ke tempat kerjanya, dapur. Beomgyu diam-diam meringis lalu berbisik pada Soobin,
"Dia datang dan pergi seperti hantu, makanya kadang aku merasa ngeri."
"Dia sudah menyuruhmu untuk berhenti, Beomgyu."
Hidung yang lebih muda mengerut sebal, lantas ia kembali menyibukan diri di meja kasir. Soobin diabaikan, bahkan setiap kali ia mengajak Beomgyu untuk mulai mengobrol, anak itu selalu angkat tangan dan bilang jangan ganggu. Soobin tak ambil pusing, suasana hati remaja memang begitu 'kan? Labil.
Pandangan Soobin terpaku pada pintu kafe. Dalam benak mulai bertanya-tanya kapan kiranya hujan akan berhenti. Bukankah seperti sia-sia tetap membuka kafe dicuaca seperti ini? Siapa yang akan datang di malam dengan hujan deras dan gemuruh petir? Jalanan bahkan sudah mulai sepi. Tiba-tiba ia terbayang hangatnya balutan selimut dan secangkir coklat hangat dalam rengkuhan jamari. Astaga, Soobin ingin pulang.
Suara Lonceng mengintrupsi, mampir di antara ribuan tetes air yang menabrak bumi. Dua kepala lain langsung bergerak ke sumber suara, pada seseorang yang tampaknya dibuat repot oleh basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Asa
FanfictionPelayan kafe yang sekaligus teman Soobin pernah berkata bahwa pemuda yang hobi duduk dekat dinding kaca dengan secup mint chocolate itu senang sekali menggumamkan nada. Bukan sesuatu yang terdengar benar-benar menyenangkan tetapi orang yang mendenga...