Part 3

3 2 0
                                    

Aku keluar dari kamarku yang berada di lantai dua dan berjalan menuruni tangga, langkahku memelan saat melihat seorang cowok dengan seragam yang sama denganku sedang duduk di meja makan bersama papa, mama, dan Nada. Farel, cowok kemarin, entah kenapa dia bisa di rumahku sekarang. Kedatangannya membuatku bingung, kesal, dan hanya mengurangi semangatku untuk pergi ke sekolah.

"Tuh Melody," ucap mama sambil mengoles roti tawar.

"Hai!"sapanya.

Aku menarik kursi makan di sebelah Farel.

"Ngapain di sini?" tanyaku dengan nada kesal.

"Kakak," peringat papa.

"Kenapa papa sama mama ngijinin dia masuk ke rumah sih?" tanyaku.

Mama menghentikan aktivitasnya mengoles roti. "Kakak, jangan bikin suasana sarapan jadi nggak enak."

Aku hanya diam dan mengoleskan selai blueberry di satu lembar roti.

"Sekarang papa enggak perlu repot-repot deh antar jemput kakak lagi,"ucap papa yang membuat aku tersedak roti.

Farel memberikan segelas susu kepadaku.

Aku menatap tajam Farel. "Gue bisa ambil sendiri."

"Maksudnya apa?" tanyaku sambil melihat papa.

"Sekarang kan udah ada Farel yang bersedia nebengin kamu berangkat dan pulang sekolah," jawab papa dengan santai.

Aku menoleh refleks ke arah Farel dengan tatapan penuh tanya. Dia hanya tersenyum dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Aku mengalihkan pandanganku dari Farel dan menatap papa dan mama bergantian. "Dia bilang apa aja sampai papa sama mama langsung percaya sama dia? Kalian baru kenal sama dia dan langsung percaya aja? Kalau aku kenapa-kenapa gimana? Aku nggak begitu penting ya buat kalian?"

Papa dan mama hanya diam.

Aku bangkit dari dudukku. "Kalau papa keberatan antar jemput aku sekolah setiap hari, bilang aja pa, aku bisa kok berangkat dan pulang sendirian."

"Kakak!" bentak mama.

Aku melangkah keluar dari rumah, air mataku jatuh. Semua hal buruk yang terjadi kepadaku adalah saat aku mulai sekolah di STRANDA. Pikiranku berkecamuk, entah apa yang telah dilakukan Farel hingga papa dan mama percaya saja dengannya. Aku menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan rumah. Aku mengelap air mataku dan masuk ke dalam taksi.

"Mau kemana mbak?" tanya sopir.

"Ke STRANDA ya pak."

Taksi melaju dengan kecepatan rata-rata. Di sepanjang perjalanan aku sibuk mengelap air mataku yang jatuh tanpa diminta. Rasanya sangat sakit, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelum-sebelumnya.

Sampai di sekolah aku langsung turun dari taksi dan melangkah masuk ke dalam toilet. Aku masuk ke dalam bilik toilet yang paling pojok dan duduk di lantai yang kering. Aku menangis dalam diam beberapa saat. Aku menghapus air mataku sebelum keluar dari bilik toilet.

Seorang cewek yang berdiri di depan cermin memandangku begitu melihatku keluar dari bilik toilet. "Melody?"

Aku mengangguk. "Kita sekelas?"

"Iya, lo nggak tau?"

Aku tersenyum tipis. "Sori."

"Gue Helsi."

"Okey." Aku mengangguk pelan.

"Lo kenapa?" tanyanya.

"I'm fine," jawabku dengan singkat.

Terdengar bel masuk berbunyi.

"Kalau gitu gue duluan ya, bye!" Ia melangkah keluar toilet.

Aku melangkah ke arah cermin, menatap diriku di cermin, yang pertama kulihat adalah wajah menyedihkanku, mataku terlihat sangat sembab. Aku membasuh wajahku dengan air kemudian melangkah ke kelas. Saat masuk ke dalam kelas semua mata tertuju kepadaku, sungguh aku benci dengan semua tatapan itu. Rasa kesalku semakin meningkat apalagi saat aku melihat Farel yang duduk di kursinya seperti tanpa dosa.

"Lo kenapa?" tanya Tari begitu aku duduk di kursiku.

"Gapapa, emang kenapa?"

Tari hanya mengangguk, dia mungkin sudah merasa jika aku tidak ingin diganggu.

***

Seharian di sekolah aku hanya diam, moodku benar-benar hancur.

"Gue pulang duluan," ucapku kepada Risa, Salsa, dan Tari.

"Nggak mau bareng ke depan?" tanya Salsa.

"Pulang sama gue, gue anter," ucap Farel yang tiba-tiba datang.

Aku berdecak kemudian melangkah keluar kelas.

Farel melangkah mengikutiku. "Ayo lah, gue bukan penjahat, niat gue baik ke lo."

Aku hanya diam dengan terus melangkah.

"Melody, gue salah negedeketin lo?" tanyanya.

Aku menghentikan langkahku saat di depan lab komputer yang sepi. Aku menatap tajam Farel. "Apa tujuan lo ngedeketin gue?"

Farel hanya diam, ia terlihat sedang berpikir.

"Lo udah bikin gue hancur seharian, jangan sampai lo bikin gue hancur di waktu-waktu yang akan datang." Aku kembali melangkah. "Jangan ikutin gue!" teriakku saat aku merasakan jika Farel kembali melangkah mengikutiku.

Hari ini aku tidak ingin pulang ke rumah dengan cepat, aku memutuskan untuk ke kafe yang dulu sering aku kunjungi bersama sosok spesial di masa lalu.

Setelah memesan aku memilih duduk di lantai dua di bagian pojok paling depan yang dapat langsung melihat jalanan di bawah, tempat favoritku dengannya. Aku menatap jalanan yang terlihat sangat padat dipenuhi kendaraan, terlihat rumit tapi sepertinya lebih rumit pikiranku sekarang.

Ponselku berdering sejak tadi tapi aku mengabaikannya, aku tidak peduli dengan telpon dari papa dan mama. Aku butuh menenangkan diri, mendamaikan emosiku dan juga amarahku, sebentar saja.

Entah berapa jam aku berdiam diri hingga ponselku mati karena kehabisan baterai dan langit sudah gelap. Aku beranjak dari tempatku dan langsung pulang ke rumah. Hal-hal yang aku pikirkan akan terjadi memang benar-benar terjadi. Papa dan mama menunggu kepulanganku di ruang tamu.

"Kakak dari mana aja?" tanya mama.

"Kabarin dong kak kalau mau kemana-kemana, dihubungi kenapa nggak bisa?" tanya papa.

Aku berlalu begitu saja tanpa ingin menjawab pertanyaan dari papa dan mama, aku masuk ke dalam kamarku. Emosiku yang telah kudamaikan sejak tadi hanya akan meluap lagi jika aku merespon pertanyaan papa dan mama. Aku lebih baik diam demi keadaan yang lebih baik.

***

Hallo!

Gimana sama part ini? Kasih vote dan komennya yang banyak ya biar aku lebih semangat update.

See you <3

Ikhlas Yang Tak SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang