[Pergi]

513 33 5
                                    

Aku menepuk punggung Sena, perempuan berambut panjang sepunggung yang selama setahun terakhir ini sudah berbaik hati merelakan dirinya untuk duduk di sebelahku. "Na."

Sena berbalik. Sepasang matanya yang tajam menghujam ke dalam iris hitam milikku. "Kenapa, Ren? Lo mau pergi?" tanyanya. Melihatku yang terdiam, Sena kembali berbicara, "Lo bisa pulang sendiri, kan? Sorry gue nggak bisa bareng. Gue ada ekskul renang."

Aku meringis di dalam hati mendengarnya. Sena sudah menjadi sukarelawan untuk menemani hari-hari sepiku di sekolah di saat teman-temanku yang lain memilih untuk membuang muka setiap kali aku bertemu mereka. Sena perempuan yang baik. Aku saja yang tidak pandai menyelam di dalam dunianya yang penuh dengan terumbu karang indah beragam warna. Jujur, aku tidak ingin menyakiti Sena, namun ketidakmampuan untuk terus berpura-pura membuatku terpaksa melakukan ini.

Aku mengangguk pelan. "Aku akan pulang. Terima kasih, Sena."

→ ←

Tatapanku berlabuh pada segerombolan laki-laki yang duduk di tribun paling atas di ruangan yang baru saja kumasuki. Manusia-manusia berseragam olahraga biru tua itu tampak sangat kontras dengan dinding ruangan yang dicat warna oranye. Tak ketinggalan riuh tawa serta seruan nyaring bergema di lapangan indoor yang biasa digunakan untuk latihan olahraga basket ini.

Aku meremas tanganku sendiri, berusaha mencari celah keberanian untuk maju menghampiri salah satu dari sejumlah laki-laki yang ada. Saat senyap perlahan menyergap, aku yakin mereka sepertinya sudah menyadari kehadiranku di wilayah kekuasaan mereka.

Aku gugup. Aku takut. Tapi aku lebih penat lagi.

Sepatuku pun pada akhirnya beradu dengan lantai semen yang dingin. Langkah kakiku lebar-lebar, namun rasanya butuh waktu seribu tahun untuk mencapai posisi laki-laki tersebut. Hingga akhirnya, aku tiba di tempat tujuan dengan iringan sorot kebingungan yang terpancar jelas dari mata para manusia berpostur tinggi kebanggaan sekolah. Tatapan mereka sukses membuatku menahan napas sejenak.

Apa yang sedang kulakukan? Nalarku dalam sekejap diambil alih oleh sang gelisah. Lucu rasanya bila mengingat kalau aku hanyalah rakyat jelata yang memilih tersesat di peraduan sang raja. Aku pun menggeleng pelan, berusaha mengusir bisik-bisik ragu yang mulai merasuk. Besar kemungkinan rencanaku akan digagalkan oleh rasa gelisahku sendiri, tetapi aku memutuskan bahwa pikiran ini tidak akan berubah.

Tidak bila aku sudah sampai sejauh ini.

Aku lantas bergerak tiga langkah ke samping kiri, memosisikan diri di depan seorang laki-laki dengan rambut lurus hitam legam dengan bulu mata lentik yang seperti baru saja ketumpahan maskara. Mata kami saling mengunci. Sunyi sontak mendominasi. Entah kapan dimulai, namun lidahku mendadak terjerat oleh rasa sesak yang bergumul di dada saat lini waktu dua tahun terakhir berkelebat cepat di dalam ruang memoriku. Tenggang masa yang bagi sebagian orang mungkin sia-sia belaka—dan aku mulai memikirkan hal yang sama.

Sia-sia, itu kata kuncinya.

Tujuanku datang ke tempat latihan anak basket ini tak lain dan tak bukan hanyalah ingin mengakhiri semua permainan yang tidak pernah kumulai. Permainan yang hanya melibatkan satu hati, sedang hati yang lain tidak pernah tahu mengapa dan bagaimana seorang perempuan sepertiku dengan sangat berani melabuhkan asa pada tuannya. Aku lelah. Aku akan berhenti.

"Kak Ilyas," aku berdehem kecil, mengabaikan getaran suaraku yang begitu kentara. Butuh dua tahun bagiku untuk dapat mengucapkan nama tersebut langsung di depan sang pemiliknya. "Aku Mauren."

Dua detik berselang dalam kebisuan Kak Ilyas, laki-laki yang parasnya sulit kuenyahkan dari dalam pikiran sejak pertama kali melihatnya berdiri tegak di lapangan upacara. Laki-laki yang selama ini hanya berani kupandangi lewat jendela kelas yang menghadap lapangan olahraga. Laki-laki yang membuatku menyadari bahwa masih ada orang baik di dunia ini.

[✔] AlienasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang