Kakak Dingin & Gadis Kecil

12 3 0
                                    

Ku lihat dirinya. Tak seperti biasanya. Yang ceria, penuh canda tawa, dan senyum yang selalu melekat di wajahnya. Kali ini berbeda. Hanya air yang tak dapat lagi terbendung di matanya.

Dia berlari. Menjauh. Ku kejar. Aku tak ingin terjadi apa-apa kepada dirinya. Dirinya, gadis kecilku. Gadis kecil yang selalu kujahili, namun aku menyayanginya.

Di bawah hujan dia menangis sepuasnya. Aku tak bisa untuk menahan dia menangis. Pikirku, mungkin karena menangis dia menjadi lebih baik. Hanya ku tunggu hingga dia lelah untuk menangis.

Ku dekap dirinya. Tak ada perlawanan. Dia malah mengeratkan dekapanku. Menangis sesenggukan. Ku belai rambutnya. Dia merasa lebih aman dan nyaman. Perlahan, tangisannya mulai mereda.

Ku ajak pulang. Dia pun menurut. Aku tak ingin dia sakit. Kusuruh dia mandi. Aku menungguinya di luar. Dia sudah membawa baju di dalam.

"Nat, jangan ngintip.", teriaknya dari dalam.

Aku tak mengintip. Mana mungkin aku tega untuk melakukan hal yang tak senonoh kepada gadis kecilku? Telingaku hanya ku tempelkan pada pintu. Hanya ingin memastikan, dia mandi atau melanjutkan menangis.

Selesai juga. Dia terlihat lebih segar walau matanya sedikit membengkak karena terlalu lama menangis. Ku ajak untuk menghangatkan diri.

Ku antar dia duduk di sofa. Tempat di mana kami saat kecil bermain. Minum teh hangat untuk membuat dirinya menjadi lebih baik.

Di luar masih sedang hujan. Dia tak ingin pulang ke rumah terlebih dahulu. Dia ingin menata diri, juga hati. Dia sementara berada di rumah orang tuaku dahulu.

"Nata. Kenapa ya Fero tega?", ucapnya seraya bersandar di bahuku.
"Sora. Di sini masih ada aku. Ada papa. Ada mama. Ada papi. Ada mami. Ada temen-temen. Ada keluarga. Ada saudara. Dan ingat, Ra. Kamu masih punya Tuhan. Tuhan ingin memberitahumu bahwa Fero bukanlah orang yang pantas untukmu. Tuhan punya rencana dan takdir indah untuk setiap umat-Nya. Kamu tak perlu membuang air matamu sia-sia hanya karena orang yang menyakitimu. Okey?", seraya ku seka air matanya yang sudah menetes.
"Iya, Nata. Terima kasih kamu selalu ada, setelah Tuhan, papi, mami, papa, mama, dan keluarga."
"Iya, Sora. Di manapun kamu, aku selalu bersamamu jika Tuhan menghendaki."
"Ngga bisa ya wajahnya ngga cuek gitu? Dingin banget sih. Senyum kek. Hehe.", pintanya diselingi tertawa.
"Nih senyum."

🌵🌵🌵

Ku lihat dirimu lebih baik dari kemarin. Sudah mau tertawa dan tersenyum. Begitu teduh. Walau masih ada luka yang tersimpan.

"Kakak dinginku. Ayo jalan-jalan. Bosen di rumah terus."
"Sora. Bukan aku tak ingin. Hanya saja aku takut jika kau bertemu orang yang menyakitimu."
"Kan ada kakak dinginku ini yang menjagaku. Yayaya? Ayolah, Nata."
"Iya, jika itu maumu. Jika bertemu, kita langsung cari tempat lain ya?"
"Iya, kakak sayang."

Dia juga memanggilku kakak dingin. Entah sebutan dari mana dia mencetuskan itu. Bagiku, nama itu sebuah nama kesayangan. Seperti aku menyebutnya gadis kecil walau dia sekarang telah beranjak remaja.

Kami sekarang berada di pusat perbelanjaan. Bukan untuk berbelanja pakaian atau kebutuhan sehari-hari, namun untuk sekadar membeli makan dan bercerita.

"Ra. Ayo pergi. Ngga perlu dilihat.", ajakku kembali. Di seberang kami, ada Fero dengan orang lain. Fero adalah lelaki yang akan menikahi Sora. Namun Tuhan Maha Baik. Ternyata keburukan Fero terungkap sebelum hari H pernikahan mereka dilangsungkan.
"Nat. Aku ngga bisa nahan nangis.", katanya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu boleh menangis, Ra. Di sini ada aku. Ayo kita pergi."

Dia menangis di pundakku. Sambil ku pegang dia menjauh dari lelaki brengsek itu. Ku ajak dia pergi ke taman untuk menenangkan kembali dirinya.

"Nata. Terima kasih selalu ada.", katanya memelukku dengan sesenggukan.
"Iya, si gadis kecilku, Sora."
"Ih, Nata. Aku kan udah ngga kecil.", seraya menyeka air matanya dan memukul pelan bahuku.
"Kamu akan selalu menjadi gadis kecilku, Sora."
"Kamu akan selalu jadi kakak dinginku, Nata."

🌵🌵🌵

Beberapa bulan setelah kejadian itu, hidupku menjadi tidak tenang. Selalu dihantui bayang-bayang Sora. Bermimpi menikahinya dan hidup bersamanya.

Aku gusar. Aku ragu. Apa ini petunjuk Tuhan? Bagaimana jika Sora tak ingin menikah denganku?

Memang selama ini, aku menaruh harap padanya. Menyimpan rasa begitu dalam. Namun ku urung niat untuk mengatakannya karena aku tak ingin pertemanan kami dari kecil berakhir pisah karena perasaan.

Aku berbicara dulu dengan papa dan mama. Mereka mengatakan setuju. Pilihan bergantung padaku. Sekarang akulah yang memilih. Iya atau tidak.

🌵🌵🌵

Setelah memantapkan hati, aku sudah memutuskan pilihan. Iya atau tidak. Mungkin ini terlalu cepat baginya karena ia baru saja mengalami kegagalan untuk berumah tangga. Namun aku tidak tenang akan dia yang selalu hadir dalam malam.

Malamnya aku, papa, dan mama datang ke rumahnya. Sedikit gugup, namun ku tahan agar semua berjalan normal. Karena hari ini aku akan melamarnya di hadapan papi dan mami.

"Semua keputusan bergantung pada Sora, Nat.", kata papi bijak. Dari awal, Sora hanya diam dan sedikit terkejut. Namun aku tahu pasti dia juga gugup sepertiku.
"Nata. Iya. Aku mau.", katanya malu-malu.

Puji Tuhan, akhirnya dia menerima pinanganku. Aku memakaikan cincin di jari manisnya, begitu juga sebaliknya. Pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu dekat, sekitar beberapa minggu setelah malam ini.

🌵🌵🌵

Pernikahan dilangsungkan di pinggir laut karena kami memang ingin outdoor tapi tetap sejuk. Semua berjalan normal tanpa ada kendala. Setelah acara pemberkatan dilangsungkan acara resepsi.

"Maaf, Sora. Jika aku tiba-tiba melamarmu waktu itu."
"Aku sudah tau, Kak Nata."
"Hah?!"
"Kan sekarang kau sudah menjadi suamiku. Tak sopan jika aku memanggil namamu langsung. Lagian kamu juga setahun lebih tua dari aku kan?"
"Iya, Sora. Maaf jika aku telat. Sebenarnya aku telah memiliki perasaan kepadamu sejak kita kecil."
"Kak Nata. Aku juga. Sebenarnya aku telah lama mencintai kakak. Tapi aku takut kakak pergi. Akhirnya aku selalu melupakan perasaanku terhadap kakak. Maaf."
"Tak perlu minta maaf. Tuhan telah menakdirkan jalan kehidupan kita seperti ini. Dan terima kasih telah menjadi istri dan juga ibu dadi anak-anak kita kelak. Aku mencintaimu, Sora, gadis kecilku."
"Kak. Aku mau nangis."
"Menangislah, Sora. Jika itu membuatmu lega."
"Kak terima kasih juga telah menjadi suami dan juga ayah dari anak-anak kita kelak. Aku juga mencintaimu, Kak Nata, kakak dinginku."

Sora. Kamu tetaplah gadis kecilku. Walau saat ini kau telah menjadi istri seseorang yang kau sebut kakak dingin.
Terima kasih, Sora. Telah mengisi ruang kosong dalam hatiku. Kau selalu ada buatku. Aku tak pandai berkata Sora, namun aku ingin kau tahu. Aku selalu mencintaimu.
~Nata Daniel

Kak Nata. Kamu tetaplah menjadi kakak dinginku. Walau saat ini kau telah menjadi suami seseorang yang kau sebut gadi kecil. Terima kasih, Kak Nata. Kau telah hadir dalam hidupku, menjadi bagian dari hidupku, dan pelengkap dari hidupku. Selalu membuatku aman, nyaman, dan sayang. Terima kasih, Kak Nata. Telah menjadi penghibur di kala duka dan pelipur di kala lara. Selalu ingin buatku bahagia. Aku juga mencintaimu, Kak Nata.
~Soraya Kim

Tue, May 19th 2020 | Wed, May 20th 2020
Ramadhan 26th 1441 H | Ramadhan 27th 1441 H

; —cactus for life, live, love🌵
; >1k words
; repost
/dream

-cactus🌵 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang