Disaat aku menoleh ke arah wanita tua itu, tak kusangka ternyata itu eyang,,,
"Ehh eyang!" seruku dengan senyum lebar sambil memeluknya dengan erat."Ayo masuk ke mobil nak! Sudah hampir sore nih," eyang lalu menggandeng tanganku.
Eyang
Sesampainya di dalam mobil, kami larut dalam perbincangan yang lumayan serius.
"Kamu hanya menghapalkannya nak?"
"Hmm iya eyang, tdi Lala juga berlatih supaya cara bacanya Lala mirip sama Pak Soekarno".
"Untuk apa?" tanya eyang padaku.
"Tadi di sekolah Lala dihukum eyang, gara-gara Lala selalu terlambat saat upacara. Besok, saat upacara memperingati hari lahirnya pancasila Lala ditugaskan untuk membacakan teks ini. Hmmm eyang jangan cerita-cerita ke mama yah kalo Lala dihukum. Kenapa sih hukumannya harus kyak begini" seruku sambil melihat-lihat model baju yang ada di majalah.
"Hahaha iya nak, kalo ama eyang mah kyak istilah anak muda sekarang SANTUY aja mah. Jangan dijadikan beban aja. Lagi pula salahmu sendiri sih bangunnya telat melulu" canda eyang sambil tertawa terbahak-bahak.
"Yahh eyang kok malah ketawa sih?! Tuh gara-gara mama lupa ngebagunin Lala. Dikira masih PSBB apa. Uhh jengkel banget Lala harus ngapalin ini, apalagi besok Lala bacanya di lapangan sekolah!" gerutuku sambil merobek-robek majalah yang ada di tangan karena saking kesalnya dengan keadaanku sekarang ini.
Hmm yah begitu lah kebiasaan burukku yang belum banyak orang tau. Kalau aku sedang kesal atau jengkel, pasti barang apa saja yang ada di dekatku akan ku rusak.
Mama selalu menyebutnya pelampiasan kekesalan ala Lala:v
Untung saja eyang sudah tau akan hal itu. Jadi eyang tidak terlalu merasa terganggu dengan sikapku mungkin,,,,hehehe..."Nak kendalikan dirimu. Bagaimana kamu bisa menjadi penerus bangsa yang cemerlang kalau sikapmu saja sudah begini gara-gara masalah yang kecil" nasihat eyang padaku sambil mengambil majalah yang sudah aku robek sebagian.
"Lala harus gimana eyang? Lala malu kalau menghapalkan teks ini di depan hadapan teman-teman".
"Kenapa harus malu? Seharusnya kamu bangga telah ditunjuk oleh gurumu walaupun itu adalah hukuman. Setidaknya, kamu harus menghargai Pancasila ini sebagai jati diri bangsa".
Perkataan eyang membuatku terdiam.
"Kan yang dihapalkan terkadang dilupakan. Kenapa kamu tidak menanamkannya dalam diri sendiri?" tanya eyang.
Mendengar pertanyaan eyang, aku hanya terdiam lagi dan bertanya-tanya akan maksudnya.
"Jika kertas itu hilang terbawa angin, pudar diguyur hujan, dan hanyut dalam alirannya, apakah makna yang ada di kertas itu akan tetap menjadi Dasar Negara kita saat ini?"
Pertanyaan eyang membuatku berfikir keras.
"Nak pemuda kita zaman sekarang sudah tertelan jauh dengan yang namanya modernisasi dan melupakan semangat nasionalisme".
"Eyang mengikuti modernisasi itu kan sudah menjadi tuntutan zaman, jika tidak kita bisa ketinggalan zaman eyang. Hanya saja, pemuda pemudi dulu membela bangsa dengan angkat senjata. Tapi kan sekarang kita sudah merdeka" jawabku padanya setelah lumayan lama berfikir.
"Nak sampai kapanpun tidak ada yang namanya kemerdekaan, kamu akan terus terjajah oleh bangsa dan dirimu sendiri".
"Walaupun kamu masih kecil, tapi kamu adalah bagian dari pemuda pemudi bangsa. Berjanjilah pada dirimu sendiri untuk mencintai bangsa, menghormati perbedaan, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar" titah eyang kembali padaku.
Semenjak hari itu, aku menyadari kalau sikapku selama ini salah.
Aku berjanji pada diriku sendiri akan menjadi orang yang lebih baik lagi kedepannya.*****
*Tamat*
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacopa
Short StoryWrite 1 Juni 2020✍️ Finish 4 Juni 2020 Yuhuu... haii guys🤗 Ini cerpen bukan sembarang cerpen loh", cerpen ini berkisah tentang cerita singkat seorang gadis yang berhasil menemukan jati dirinya sebagai anak bangsa, disaat dunia sedang dilanda Covid...