Awan menunjukkan berbagai emosi ketika kutatap. Terkadang, ia terlihat sangat indah saat langit bersih mendukung eksistensinya. Dan angin seakan-akan menjadi dayang yang menuntun pergerakannya.
Tapi, terkadang pula awan berubah warna jadi kelabu. Mengusung perasaan muram bagi para perindu. Sesekali ia menghilang, meninggalkan banyak kenangan untuk pengagum rahasia yang dimilikinya. Dan, hari ini, tingkahnya agak rusuh.
Awan-awan nakal itu menutupi kehadiran sang mentari. Entah mereka tengah berkonspirasi atau memang sedang memusuhi. Aku memikirkan banyak hal, tapi belum menemukan jawabannya.
Hingga sebuah suara muncul dari belakang.
"Wang, balik yuk! Mau ujan kayaknya."
Aku berguling, menjadikan tubuh yang tadi terlentang kini tengkurap seperti kura-kura. Cepat mendongak lalu menemukan sosok Rena yang mendekap dua buku tebal di lengannya.
Ia sibuk mengawasi langit. Curiga sewaktu-waktu awan meneteskan air matanya deras. Mengerjai kami.
"Yuk."
Aku pun bangkit. Menepuk-nepuk rok yang barangkali ditempeli debu halus lantai meski sekilas masih tampak bersih.
"Mau ke Pak Kumis atau Pak Min?" tawarku padanya.
Wajah Rena seketika berseri. Kedua lesung pipitnya timbul. Gadis itu mengamit lengan kiriku yang tidak membawa beban. Menariknya pelan untuk lekas turun ke lantai dasar.
"Pak Kumis aja ya. Kemarin udah makan bakso sih, tapi gue pengen lagi."
Ia menyisir rambutnya salah tingkah. "Mau gak nih, Wang? Hehe." tanyanya.
Aku mengangguk. Dari kedua pilihan yang ada, bakso ala Pak Kumis atau sop ayam buatan Pak Min, semuanya kusuka. Sama-sama berkuah, sedap, dan menyegarkan.
Alih-alih lanjut menuruni tangga, aku malah melamun. Menghentikan langkah di tengah ubin bertingkat itu. Aku berpikir bila saja—
"Ayo!" Ulang Rena yang ketiga kali.
"Huh? Iya."
Kami pun berjalan beriringan. Suasana sekolah tampak sepi. Bahkan lantai lorong perpustakaan tua yang sedang kami lewati, memantulkan suara langkah kami dengan nyaring.
Tak tak tak!
Aku mengecek jam tangan. Pantas. Ternyata sudah pukul empat sore. Anak kelasku dan yang lainnya tentu berebutan keluar gerbang. Cekatan untuk pulang. Sesuatu yang mungkin juga kulakukan jika rumah tampak seperti sesuatu yang nyaman.
Di sepanjang jalan, Rena merangkul bahuku.
Pandanganku terpaku pada area parkir. Lahan yang biasanya penuh, sekarang hanya diisi empat mobil. Entah semuanya milik murid atau mungkin, masih terdapat staf sekolah yang bertugas.
Kami menatap sekeliling. Merah, kuning, putih dan sebuah sedan hitam lawas, mobil milikku yang mungil.
Bulir-bulir air hujan mulai turun, kami segera berlari menuju pintu kendaraan.
"Huft. Basah anjir baju gue!" Rena cemberut, begitu sadar seragam putihnya kini membentuk pola polkadot akibat tetes hujan. Ia pun mencoba mengelap titik-titik hujan yang menempel di bajunya.
Sampai dua menit, ia masih sibuk mengelap air di pakaiannya dengan berlembar-lembar tisu. Diam-diam, dahiku berkerut.
Bukan pelit atau apa, tapi tisu kan terbuat dari kulit kayu? Jadi, aku mencekal tangan Rena, memintanya untuk berhenti mengambil lembaran kertas itu.
"Cuma dikit. Nanti juga kering, Ren." kataku dan menyalakan AC. Rena orang yang tahan dingin, harapanku pada angin ini supaya dia bisa mengeringkan baju kami lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONE in the crowd
Teen FictionNawang hanya dianggap tokoh figuran dalam keluarganya. Dia selalu berada dalam bayang-bayang sosok sang kakak, Dea. Seorang wanita dengan kepribadian hangat yang amat bertolak belakang dengannya. Karena Dea selalu menjadi patokan, maka perasaan dan...