Aku mematut diri di depan cermin. Mengawasi rambut yang dengan cepat sudah sepunggung. Seingatku, baru dua bulan yang lalu aku terduduk di kursi empuk salon untuk memangkas rambut. Tapi, sekarang lihatlah. Rambut kecoklatan ini sudah memanjang lagi dan lagi.
Secara lebih detail, aku mengamati ujung-ujungn rambut ini. Terlihat kering dan terdapat helai yang bercabang. Temuan ini sudah cukup memberiku sinyal bahwa keadaannya kurang baik dan terawat. Tidak tertolong. Aku menggigit bibir, berpikir keras.
Hm. Lebih baik potong atau tidak ya?
Jariku mencapit ujung rambut. Aish, pemandangan ini, mataku jadi risih melihatnya. Ternyata banyak sekali helai rambut yang bercabang, warna yang dulu cokelat juga menjadi agak kemerahan sekarang. Kupangkas aja ya mungkin?
Kalau dibiarkan, punya rambut sepanjang ini sudah pasti gerah. Apalagi saat olahraga seperti berlari atau berenang, dia pasti jadi mengganggu. Apalagi, aku tipikal orang yang tidak mau repot dan mengagungkan kenyamanan di atas segalanya di aktivitasku sehari-hari.
Eh.
Tapi, kalau dipangkas pun, aku yakin hasilnya aneh. Wajah agak chubby ini akan kelihatan tambah bulat nantinya. Aku menggigit bibir lagi di depan cermin. Bayangan tampilanku dengan potongan rambut pendek, wajah bulat, dan pita di kepala membuatku tiba-tiba tertawa gila.
Huft. Aku mengigit bibir bimbang.
Spontan melirik ke samping dimana meja belajarku berada. Disini tatapanku beralih dari gunting ke rambut, gunting lalu rambut lagi, atau rambut ke gunting, sama saja begitu seterusnya. Aku meremas kepala.
Bingung! Dipotong atau tidak ya jadinya?! Hahh.
Sudah lelah berdiri hampir satu jam, aku membanting tubuh ke permukaan ranjang. Aku menyerah. Iya, lebih baik seperti itu. Dari kemarin kepalaku sudah mau pecah, maka hari ini harus lebih rileks. Masalah rambut adalah keputusan yang mudah. Pikirkan nanti aja, Wang!
Namun, sayang sekali ekspektasi jarang beriringan dengan realitas. Ternyata, gak semudah itu untuk mengenyahkan suatu pikiran. Hm, sekarang aku jadi paham kenapa temanku sering mengeluhkan diri mereka yang sering ber-overthingking. Sekarang, ini terjadi juga padaku pada hal yang tidak penting.
Di tengah kegundahan yang malah semakin membuat gusar, aku menatap satu persatu aksesoris kamar yang terpajang. Saat itu pula, secara tidak sengaja, aku terpaku pada dua jarum sebuah jam dinding besar. Hah, sudah pukul enam?
Sial!
Menyingkirkan guling yang kupeluk ke samping, aku bangkit dengan panik. Berangkat kesiangan ke sekolah bukan ide bagus. Aku malas berjubelan di jalan dekat sekolah. Menunggu kendaraan bergiliran masuk ke area itu bisa sangat membuang waktu.
Jadi, dengan cekatan, aku memungut novel yang teronggok di kasur, menata ulang bantal-bantal, juga menggulung selimut tebal supaya ruang di kasur lebih bebas dan enak dipandang.
Ringisanku muncul saat menatap jam lagi. Sepuluh menit udah terlewat. Duh, cepat-cepat aku berjalan ke kamar mandi. Kenapa waktu seakan tambah cepat aja sekarang? Mungkin dia ingin mengerjaiku.
Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar mandi. Mata ini masih sempat-sempatnya menoleh pada satu barang di meja. Ia seperti sedang menggodaku. Meminta digunakan, sebuah gunting.
Aku menampar pipi. Sadar! Lupakan, Wang. Lupakan segala masalah tentang rambut itu! Yang penting mandi! Satu jam lagi akan ada sarapan bersama keluarga yang—
Tok tok tok!
"Iya, sudah bangun!" ujarku pada seseorang.
Setiap pagi ada asisten rumah yang memastikan aku tidak terlambat ke sekolah. Tapi kali ini, sepertinya dia juga terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONE in the crowd
Roman pour AdolescentsNawang hanya dianggap tokoh figuran dalam keluarganya. Dia selalu berada dalam bayang-bayang sosok sang kakak, Dea. Seorang wanita dengan kepribadian hangat yang amat bertolak belakang dengannya. Karena Dea selalu menjadi patokan, maka perasaan dan...