Prolog

40 7 0
                                    

Seluruh keluarga besarku tengah berkumpul setelah makan malam bersama dengan menu seafood. Tapi aku sama sekali tidak menyendokkan menu dari piringku, hanya beberapa buah anggur yang aku telan. Entah, nafsu makanku hilang.

Kami berbincang ringan tentang berbagai topik acak. Aku yang mulai bosan memilih kembali ke kamar.

Betapa terkejutnya aku saat tiba di kamarku. Ada saudara sepupuku yang telah duduk di ranjangku. Tapi kenapa? Meskipun dia sepupuku, tetap saja kami sudah dewasa—ya, paling tidak remaja—, dan adalah hal tabu berduaan di dalam kamar.

Namanya Dani, dia dua tahun lebih tua dariku. Aku sendiri baru tujuh belas tahun kemarin lusa.

"Kenapa kamu di sini?" aku tidak beranjak dari dekat pintu, tetap was-was. Aku takut ada yang memergoki kami dan berpikir yang tidak-tidak.

"Memangnya salah?" Dia masih duduk santai, dengan tatapan terpaku pada gawai di tangan kanannya.

"Tentu saja! Keluar! Aku mau istirahat!" Aku berseru jengkel, aku pemilik kamar ini, mengapa dia bersikap seolah sebaliknya?!

"Hei, kita sudah menikah," ucapnya tenang, namun bagai sambaran petir bagiku.

Apa-apaan, menikah? Dengan sepupuku sendiri? Seakan-akan tidak ada pria lain saja.

"Jangan bercanda, lagi pula bercandamu sama sekali tidak lucu! Cepat keluar!" Aku tetap berusaha mengusirnya, meski kini suaraku beralih bergetar.

Bagaimana kalau dia tidak bercanda? Tapi itu tidak mungkin! Aku sadar sekali, dan aku belum menikah!

"Aku tidak bercanda, Kana. Kenyataannya memang—uhuk!"

Aku yang hampir menangis, memandangnya dalam bias yang menghalangi netraku. Tapi aku jelas melihat, dia membatukkan darah.

"Astaga! Kamu kenapa, Dani?!" Aku bergegas mendekatinya dan memegang bahunya. Aku sudah nyaris lupa perkara pernikahan tadi.

"Aku—uhuk! Sebaiknya kamu segera pergi, Kana. Di sini mulai tidak aman. Bawa peralatan Pramukamu dan korek api, jangan lupa pisau lipat." Batuknya semakin parah, darahnya bahkan sudah membasahi sekitar kerah kemejanya.

"Dani, kamu bicara apa, sih?! Ayo cepat, kita ke rumah sakit!"

Entah bagaimana aku sudah di lantai bawah, di ruang yang sama dengan keluargaku. Aku sudah tidak bersama Dani, aku juga sudah memakai tas, tapi mereka tak mengacuhkanku. Lalu salah seorang tanteku menghampiriku, aku merasa sesuatu yang aneh sedang terjadi.

Tentu saja! Apa aku menikah dengan sepupuku sendiri itu belum cukup aneh? Ya, meskipun dalam agama kami memang boleh menikah, tapi, ayolah!

"Kana kamu—uhuk!"

Kembali, hal seperti yang terjadi pada Dani. Tante Tia juga membatukkan darah, tidak parah tapi nampak sekali di bibirnya, seperti seseorang yang habis minum darah. Kurasakan sendi-sendiku mulai melemas, aku semakin bergetar, sebenarnya ini ada apa?

Aku semakin kalut dan takut, aku memutuskan keluar sebentar dari rumah, tetap dengan tas ranselku yang membuatku mirip seseorang yang hendak minggat.

Situasi di luar tidak lebih baik. Orang-orang juga sama membatukkan darah. Aku semakin panik dan berjalan tak tentu arah, sampai aku masuk ke dalam hutan yang ada di dekat rumahku.

Daerah rumahku ada di pedesaan sekaligus pegunungan, namun dengan bangunan-bangunan rumah besar. Desaku memang terkenal dengan orang-orang berduitnya. Kami tidak mengusik hutan-hutan di sekitar, itu benar-benar masih lebat dan terjaga, bahkan jarang ada yang memasukinya. Semua itu karena meskipun kami tinggal di desa ini, kebanyakan waktu hidup kami tetap di perkotaan—yang berjarak sekitar dua puluh kilometer—termasuk hal pendidikan.

Aku masuk semakin dalam di hutan itu. Entahlah, tapi feelingku berkata aku lebih aman di sini.

Aku membenarkan jilbabku sembari beristirahat di bawah pohon yang sangat besar. Akar-akarnya mencuat ke mana-mana, membuatnya nyaman untuk beristirahat sejenak.

Aku masih sangat kebingungan dengan apa yang terjadi. Semua begitu cepat berlalu. Menikah-darah-dan kenapa aku memilih ke sini?! Di hutan antah berantah yang bahkan tidak memiliki jalan setapak?! Lalu apa lagi?!

Srek srek srek

Aku mendengar suara langkah yang diseret di antara guguran daun. Dalam situasi seperti ini, itu terdengar sangat menyeramkan. Bagaimana jika itu hewan buas? Hutan ini masih sangat liar, bukan? Apa aku akan berakhir dengan cara seperti ini?

Jantungku semakin memompa dengan keras saat suara itu semakin mendekat. Sebisa mungkin aku tidak menimbulkan suara, nafasku yang ngos-ngosan pun mati-matian aku tahan. Bising bisa memperburuk keadaan. Lalu—

BRAK

BRAK BRAK BRAK

"KANA BANGUN WEI, KEBO! Mau sampai kapan lo tidur? Sampai ayam jantan bertelur?!"

Suara itu mengganggu tidur siangku. Tunggu, jadi itu tadi hanya mimpi? Tapi, tapi, kenapa senyata itu?

Dengan bingung, aku menatap jam beker di atas nakas, pukul 14.14. Sejak kapan aku tidur?

***

TBC

*lap keringat
Fyuhhh.. Aku ikutan lemes nulis prolog, hadeuh. Tapi aku emang pernah mimpi semacam ini pas tidur siang, dan malemnya jadwal film di TV—ini aku nggak tau jadwalnyaitu filmnya World War Z. Aku makin takut" gitu dan jadi bayangin kalau suatu saat emang bakal gitu, ih

Btw, ini emang terinspirasi dari mimpi gaje tidur siangku, wkwk.

Enjoy!

The ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang