Hari sudah beranjak petang saat aku keluar dari kamar. Aku baru selesai beberes dan menggulir sebentar feed medsosku. Rasanya energiku sangat terkuras, ditambah mimpi siang tadi yang membuatku semakin cemas. Aku tahu itu hanya mimpi, bunga tidur. Tapi tetap saja mimpi tadi mengerikan.
Aku menuruni tangga menuju ruang keluarga, tampak anggota keluargaku bersliweran. Malam ini keluargaku—dari pihak ibu—akan mengadakan makan malam bersama. Langit yang mulai menggelap membuat kesibukan makin terasa di rumah besar orangtuaku ini.
"Kana bantuin lap piring, dong," ucap seseorang dari arah belakangku. Aku berbalik menatapnya.
Cewek boyish, rambut setengkuk, headphone di leher, kemeja warna gelap, dan celana jeans belel—untung saja rambutnya bob, bukan pixie cut. Dia Agatha Pramaputri, tersangka yang menggedor-gedor pintu kamarku dengan tidak manusiawi siang tadi.
Aku menahan tawa melihat tampilannya yang begitu boyish namun kontras dengan setumpuk piring siap lap di kedua tangannya. Agatha membalasku dengan pelototannya.
"Ketawa aja, gue pakek buat lap hijab lo itu," dia tambah melotot, membuatku semakin sulit menahan tawa.
"Heh! Ayo buru! Ini yang jauh udah mau dateng, Nurbaya!" Agatha kembali menegurku, dengan cekikikan kecil aku mengikutinya ke ruang makan.
"Noh, lap fifty-fifty."
Agatha bilang memang 50:50, tapi dia memberiku tiga per empat tumpukan piring, dasar.
"Oy, gue tidur di kamar lo, ya, selama liburan ini," dia berkata sambil fokus membentuk putaran dengan lap di piringnya.
Aku hanya mengacungkan jempol.
Saat ini adalah awal libur kenaikan kelas, masuk nanti aku kelas dua belas. Aku dan Agatha seumuran, hanya lebih tua dia satu bulan.
"Kenapa lo diem mulu? Sariawan lo?"
Aku melempar lap pada Agatha, "Mulut, mulut. Kata adalah sebagian dari do'a."
"Hilih. Kek orang tua lo."
"Aku lagi malas bicara."
"Why?"
Fyi, ayahnya Agatha—yang jelas terhitung omku—adalah seorang blasteran Indo-Jerman. Paras bule itu masih sangat kentara di wajah Agatha meskipun Tante Ana asli Indonesia. Memang gen keluarga ibuku tak begitu berpengaruh, pun dengan diriku.
"Aku tadi siang mimpi, aneh banget tapi terasa nyata. Aku sampai capek sendiri pas bangun tadi. Apalagi, kamu, gedor pintu kamarku keras banget!" Aku menunjuk wajahnya.
Agatha menyengir, "Ya, habis lo tidur lama banget. Kan gue khawatir kalau ternyata lo itu pingsan atau semacamnya."
Aku hanya memutar bola mata, meraih kembali lap yang tadi aku lempar.
"Emang mimpi apa?"
"I don't know. Semacam ... Zombie apocalypse? Mimpi aku belum sampai selesai waktu kamu bangunin aku dengan begitu tidak manusiawinya."
"Apa, sih, cuma bunga tidur," ujarnya cuek sambil mengelap piring terakhirnya. Tentu saja terakhir, dia hanya mengambil seperempat.
"Tapi aku penasaran. Tidur lagi pun mimpinya tidak bersambung, Agatha." Aku tidak bohong, aku benar-benar penasaran bagaimana kelanjutan mimpiku tadi, kira-kira makhluk apa yang tadi berjalan mendekatiku? Aku yakin kebanyakan orang pernah ingin menyambung mimpi—walau tahu itu tidak mungkin.
"Menunya—apa itu tadi, pokoknya ikan salmon." Dia mengalihkan topik.
"Aku malas makan," jawabku malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Z
Science FictionKana pikir semuanya hanya sebatas mimpi dalam tidur siangnya. Tapi, alam punya banyak kejutan untuk manusia. Mimpi Kana, menjadi nyata. Virus misterius tiba-tiba menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Bumi menjadi kacau. Mereka yang terinfeksi ada...