"Na, kita langsung balik aja, nih?" Agatha bertanya dalam nada yang gusar. Dia biasanya tenang jika berhadapan dengan masalah, tapi memang kejanggalan ini terlalu kuat untuk dihadapi dengan tenang.
"Menurut kamu gimana, Tha? Aku terserah kamu aja," ucapku panik. Aku begitu mudah panik.
"Kita berhenti dulu, lihat situasi, kalau aman kita balik," putusnya. Aku setuju, itu sepertinya yang terbaik untuk saat ini.
"Kalau makin buruk?" Aku semakin panik, bahkan rasanya mataku mulai panas.
"Kita pergi."
"Kemana, Tha? Kita tidak mungkin ke kota, pasti di sana lebih parah." Tetes air mataku jatuh, aku ketakutan, aku panik. Bagaimana dengan orangtuaku? Keluargaku?
"Na, pihak berwenang pasti bakal mengatasi ini. Kita cukup sembunyi di tempat yang aman, jauh dari jangkauan yang lain." Agatha berbicara panjang, aku sulit mencerna perkataannya, kecemasan ini membungkus akal sehatku.
"Dimana kita sembunyi? Rumah ... kamu tahu gimana rumah waktu kita tinggal, mereka, mereka—" tangisku pecah seutuhnya. Aku sangat takut.
"Kita nggak bakalan ke rumah. Gue pikir penyakit ini cepat menyebar. Gedung—selama ada orang lain—nggak bakal aman, Na!" Agatha memacu motor lebih cepat saat orang-orang mulai membatukkan darah. Seperti ... seperti Dani dalam mimpiku.
"Tha ..." Aku memanggil dalam volume sangat lirih.
"Kenapa?"
"Ini mirip mimpiku."
Ciiiittt
Hampir saja kami menabrak orang yang tiba-tiba jatuh telentang dari trotoar. Beruntung kemampuan berkendara Agatha bagus. Kalau tidak, mungkin orang tadi sudah tiada. Agatha tidak peduli seruan orang—yang masih setengah sadar—memberi sumpah serapah padanya.
Lima menit kemudian kami sampai di titik gelap tidak ada lampu jalan. Saat Agatha membelokkan motornya ke arah kiri—yang mana adalah semak-semak—tentu saja aku memekik kaget. Kami menembus semak itu, dalam sekejap, semak yang tersibak kembali menutup.
Agatha mematikan mesin motor, membuat kegelapan melingkupi kami dengan sempurna.
"Tha ..." Aku meraba-raba. Mataku rasanya buta, tidak bisa melihat apa-apa.
Agatha langsung meraih tanganku. Dia membimbingku duduk di bawah pohon. Bagaimana jika aku menduduki hewan beracun yang tak boleh disentuh, atau sederhana saja aku menduduki katak? Yach.
"Kita lihat situasi menit sampai jam lagi, Na. Lo tadi mungkin tidak melihat, tapi gue melihat bagian orang yang jatuh bersimbah darah tiba-tiba bangun dan menerjang orang yang duduk di sampingnya," ujar Agatha berbisik. Aku hanya sanggup mengeratkan genggaman tanganku dengan Agatha.
"Menurut gue, ini mungkin emang zombie apocalypse. Just like your dream, Na."
"But, why?" Air mata masih sesekali meluncur di pipiku. Siapa yang tidak takut di situasi seperti ini?!
"Kita nggak tahu, belum tahu." Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Agatha saat ini, tapi yang jelas dia lebih tenang dari aku.
"Baiknya sekarang kita siapkan perlengkapan buat di hutan."
"Are you sure? Mungkin kamu tadi salah lihat. Mungkin orang itu memeluk, bukan menerjang." Aku sendiri sebenarnya ragu dengan perkataanku, itu hanya bagian dari usahaku menenangkan diri.
"No, Na. Gue tahu bedanya. Sekarang, lo punya apa aja di jok motor lo?"
Aku mengingat-ingat. "Ada mantel hujan, apa lagi, ya? Mungkin kita harus cek." Aku mengusap wajahku dengan lengan jaket.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Z
Science FictionKana pikir semuanya hanya sebatas mimpi dalam tidur siangnya. Tapi, alam punya banyak kejutan untuk manusia. Mimpi Kana, menjadi nyata. Virus misterius tiba-tiba menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Bumi menjadi kacau. Mereka yang terinfeksi ada...