Chapter 1

17 2 1
                                    

Alvaro Carlos Sutomo dan Alinna Claire Sutomo, both of my twins. Mereka memang kembar tapi tidak identik.

"Babe, kamu udah beli popok bayi belom?" tanyaku. "Oh iya lupa," jawab Ben. "Aduhh, gimana sih Ben. Bentar lagi udah mau abis, jangan sampe bener-bener kosong," omelku. "Sorry honey. Aku beli deh sekarang. Eh, apa mau sekalian grocery shopping?" tanya Ben. "Hemm, boleh deh, sabun mandi aku juga abis," jawbaku. Begitulah kehidupanku setelah nikah. Gue masih melanjutkan pekerjaan gue sebagai fashion designer dan Ben membangun perusahaanya sendiri. Keren kan? Gak ada yang nyangka dia bakalan sukses, but look at him now. Sebagai istri tentunya aku bangga punya suami kayak Ben. Baik, ganteng, sukses, kurang apa lagi coba? Suami idaman semua orang.

"BEN! BEN! Varo muntah!" teriakku panik. "Hah?! Kok bisa? Kenapa dia sakit?" tanya Ben. "Ya mana aku tau kan tadi aku suruh kamu liatin dia sebentar, aku lagi ngurusin Lina. Kamu malah keasikan nonton TV dan gak merhatiin dia!" omelku. "Maaf aku ketiduran di sofa. Aku ngantuk banget Sya banyak kerjaan kantor, kemaren aja aku lembur," jawabnya. "Ya tapi kan anak prioritas utama! Sekarang anterin aku ke rumah sakit, bawa Lina cepetan!" ocehku lagi. Ya, sehari-hari emang gini, little fights. Mungkin menurut kalian gue kejam karena ngomelin dia padahal dia cuman ketiduran di sofa. Tapi sekarang posisinya anak gue lebih penting dari apapun, they are my number one.

"Anak saya gak kenapa-napa kan dok?" tanyaku. "Terjadi intestinal blockage pada anak ibu, adanya penyumbatan yang membuat makanan atau cairan tidak melewati usus kecil atau usus besar anak Anda," jelas dokter. "Saya harus ngapain ya dok?" tanyaku lagi. "Ibu tenang aja, tapi anak ibu harus di rawat inap selama beberapa hari sampai keadaanya membaik," jelasnya lagi. "Gapapa nih dok? Anak saya baru umur 3 tahun," tanyaku khawatir. "Ibu tenang saja, rumah sakit kami adalah salah satu rumah sakit terbaik di kota ini. Anda bisa percaya kepada kami," jawab dokter. "Terima kasih banyak dok," ujarku.

"Ma, Aro gapapa kan? Ina atut Aro akit," (Ma, Varo gapapa kan? Lina takut Varo sakit) tanya Lina. "Gapapa sayang, kita pulang ke rumah dulu ya, nanti baru jenguk dedek lagi," jawabku. "Oke ma," ujar Lina. Ya, Lina lahir lebih dulu lalu 2 menit kemudian Varo lahir. Kami pulang terlebih dahulu lalu sebagai seorang istri dan ibu, gue masak makan malem baru balik lagi ke rumah sakit. Ben tinggal di rumah ngurusin Lina. Beberapa hari kemudian keadaan Varo membaik dan Varo keluar dari rumah sakit.

"Ayo kita ke ebun atang," (Ayo kita ke kebun binatang) ajak Lina. "Lina, Varo masih belom sehat. Kita pergi kapan-kapan aja ya nak," jawab Ben. "Api mama papa uda janji ama Ina ama Aro mau pergi jayaya," (Tapi mama papa udah janji sama Lina sama Varo mau pergi jalan-jalan) kata Lina kesal. "Iya sayang, tunggu dedek sembuh dulu ya baru kita jayaya," jawabku. Memang kami sudah merencanakan untuk pergi bermain, tapi keadaan Varo menghalangi kami. Varo masih susah untuk disuruh makan dan kadang masih mual tapi kata dokter itu biasa asalkan diberi banyak istirahat.

1 minggu kemudian...

"Yeyy jayaya," teriak keduanya senang. "Aro anti ita aik itu," (Varo nanti kita naik itu) kata Lina sambil menunjuk gajah. "Ayok, Ina berani nda? Inggi loh elepen nya," (Ayok, Ina berani nggak? Tinggi loh elephant nya) kata Varo. "Nanti kalian naik sama papa ya, hati-hati loh harus pegangan sama papa terus," kataku. "Oke maa," jawab keduanya. "Beb nanti ka-" pas gue mau ngomong Ben dapet telpon. "Bentar ya Sya ada telpon," kata Ben sebelum menjawab telpon nya. "Siapa Ben?" tanyaku sesudah Ben balik. "Sya kayaknya aku harus pergi duluan deh, ada kerjaan. Nanti kamu kalo udah selesai telepon aku aja, aku jemput nanti," kata Ben. "Hah? Kamu serius? Ini kita lagi main bareng-bareng kayak gini dan kamu lebih mentingin kerjaan?" tanyaku. "Maaf sayang, tapi ini penting banget. Bye, see you soon," kata Ben sambil mencium keningku. "Bye my dinos nanti papa jemput ya," pamit Ben pada anak-anak. Kami akhirnya menghabiskan waktu ber3 di kebun binatang. Ugh, aku tidak mau ini terjadi terus-menerus. Gue gak mau anak gue ngalamin apa yang gue rasakan dulu.

3 tahun pertama hidup kita adem-adem aja, cuman perkelahian kecil. 2 tahun kemudian, kita cerai.

"Udah lah Ben, aku capek. Kata kamu mau bahagiain aku tapi apa!" kita udah sering banget berantem, sampe capek tau gak. "Lagian kamunya aja yang sensian banget," wah gila sih, enak banget ya ngomongnya. Ben juga udah berubah, ga sama kayak dulu lagi. "Kayaknya aku salah udah nerima kamu waktu itu. Harusnya sekalian aja aku gak jawab. Kalo akhirnya bakal kayak gini ya buat apa? Emang ya dari dulu kita gak pernah cocok, gak pernah akur," karena kesal, gue ngomong gitu. "Kayaknya kita sampe sini aja, aku mau tidur," gue langsung masuk ke kamar.

Paginya, Ben gak ada dirumah. Gue nangis berat. "Ma, mama kenapa?" tanya Varo. "Mama gapapa Varo," jawab gue sambil terpaksa teresenyum. "Mama jangan nangis lagi, nanti kalo ada yang ganggu mama, Varo bakal hajar!" kata Varo. Sorenya Ben pulang dan serahin surat cerai. "Kamu tanda tangan ini, jam 6 kita ke pengadilan sekalian urusin surat hak asuh anak," kata Ben. Gue terdiam dan membatu. Gak tau harus respon apa. Gue bener-bener kaget, kecewa, dan gak nyangka dia bakal kayak gini, bakal minta cerai duluan. "Kenapa? Lebih cepat lebih baik bukan? Kamu cuman boleh ambil 1 anak, 1 lagi aku yang urus. Cepetan pilih," lanjutnya. Lalu gue mengajak Varo dan Lina ke kamar.

"Umm.. Varo, Lina, mama sama papa gak bakal bareng lagi. Kita bakal tinggal terpisah, pilih ya mau ikut siapa," kataku. "Mama!" jawab keduanya. "Gak boleh dua-duanya sayang. 1 orang cuman boleh pilih 1," aku sebenernya gak tega. "Tapi kenapa mama sama papa harus pisah?" tanya Lina. "Karena mama sama papa udah gak saling sayang lagi. Mama cuman sayang sama Varo sama Lina doang," jawbaku. "Yaudah, Varo sama mama. Biar Varo bisa lindungin mama, biar Lina sama papa aja," kata Varo. "Gak mau! Ina juga mau ikut mama!" kata Lina sambil menangis. "Alinna sayang, udah ya jangan nagis lagi. Lina kan ada papa ya?" aku mencoba menenangkan Lina. "Mama janji, kalo Lina jadi good girl sama papi, mama bakal sering jenguk Lina okay?" Lina setuju, namun janji itu tak pernah ku tepati. Gue terlalu takut untuk datang kembali. Saat itu, gue diusir dari rumah itu.

ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang