✾ | NUDIUSTERTIAN

488 52 36
                                    

Kau mendengar suara ketukan pelan di jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kau mendengar suara ketukan pelan di jendela. Fajar belumlah menyingsing dan suasana masihlah hening. Tak ada suara, hanya bunyi tetesan samar dari atap, bekas hujan badai semalam. Kau segera pergi mandi, masih dalam gelap. Segalanya terasa lebih menantang ketika cahaya tak menang.

Kau segera memakai pakaian favoritmu: masih terlalu awal untuk pergi ke sekolah, sehingga kemeja putih menjadi pilihan pertamamu. Kau tak ingin gerakanmu terganggu dengan seragam berlapis yang harus kau kenakan, tetapi di atas semua itu, kau sangatlah tak sabar untuk bertemu dia. Kau tak ingin satu detik pun terbuang percuma.

Kau mengumpat pelan ketika warna keemasan di langit mulai tampak, meluber perlahan memasuki kamar asramamu melalui celah-celah di tirai jendela. Kau tak boleh terlambat. Kali ini, tidak lagi.

Udara yang dingin menghantam wajahmu ketika kau membuka pintu dan berjalan keluar. Seperti yang sudah kau duga, segalanya sunyi, khas daerah pinggiran desa di Winscombe. Kau berjalan mencari, sesekali menggosok-gosokkan tanganmu yang terasa membeku. Kau mencarinya.

Dan di sanalah ia berdiri, tepat di bawah kanopi pepohonan yang menaungi padang rumput, dalam balutan sweater kelabu dan rambut gelap yang terkepang rapi. Senyumnya semakin lebar ketika matanya menatap matamu, dan untuk kesekian kalinya, kau jatuh cinta lagi.

Aku tidak sempurna, dia selalu berkata begitu. Tetapi bagimu, ketidaksempurnaannya adalah mahakarya Tuhan paling indah yang pernah kau jumpai di dunia.

"Aku merindukanmu," kau berkata pelan sembari berjalan mendekatinya. "Aku merindukanmu, Delilah."

Kalian berlari menyeberangi padang rumput, tak tentu arah, meninggalkan bangunan asrama jauh di belakang kalian. Fajar sudah merekah, jingga keemasan di ufuk timur, mengisyaratkan musim semi yang telah datang. Langkah kalian mulai melambat. Kalian bernapas terengah-engah, saling mengerling satu sama lain, kemudian tertawa terbahak-bahak. Kau menarik tangannya dengan pelan, menunjuk padang bunga yang berada tak jauh dari jalan yang membelah bentang alam di depan kalian. Bunga-bunga liar tumbuh di atasnya, beradu satu sama lain dalam lautan warna, tanpa nama. Kau menarik tangannya dengan pelan, lalu kalian duduk di antara bunga-bunga.

"Bagaimana kabarmu?" kau bertanya. Kau selalu menanyakan itu. Bahkan walaupun kalian terakhir bertemu kemarin. Bahkan walaupun kalian terakhir bertemu malam tadi. Kau tahu, dia memahami pertanyaanmu lebih dalam daripada orang lain. Dia tahu, ketika kau menanyakan kabarnya, kau tak mengharapkan jawaban yang singkat; kau ingin dia menumpahkan segala hal yang ada di pikirannya padamu, semua mimpi-mimpi buruknya, semua monster yang membuatnya terjaga sepanjang malam.

Delilah tersenyum lemah, cahaya perlahan meninggalkan kedua bola matanya. Ia tampak lebih pucat sekarang. Kau berusaha tak memperhatikan hal itu setiap kali kalian bertemu.

"Aku tak ingin bercerita. Mari kita berbicara tentang hal lain saja."

Kau terdiam, berusaha mempelajari ekspresinya. Delilah mengalihkan matanya darimu, menundukkan kepalanya dengan dalam. Seakan seluruh beban berat dunia berkumpul di sela-sela kepangan rambutnya, menekan kepalanya.

NUDIUSTERTIAN | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang