Follow dulu ah
Sudah tengah malam, tapi netra lelaki jangkung itu tak kunjung bisa terpejam. Wira melangkahkan kaki jenjangnya kearah kamar sang saudara. Mengetuk beberapa kali pintu ber-cat putih itu namun tak kunjung ada jawaban. Akhirnya bocah itu memutar knop pintu yang ternyata tidak terkunci. Netranya menangkap tubuh Naka yang sudah meringkuk di atas ranjang dengan balutan selimut tebal sampai sebatas dada.
Ia mendekat, ditiliknya wajah pucat sang kembaran dengan banyak peluh yang bertengger di dahinya. Wira mulai dilanda kekhawatiran, bocah itu dengan cepat meraba dahi Naka. Wira membelalakkan matanya saat sensasi panas itu mulai menjalar.
"Naka, bangun!" Bocah itu menggoyangkan tubuh saudaranya yang masih terpejam.
Merasa terusik, Naka mengerjapkan mata beberapa kali berusaha menetralkan pandangan. Saat manik itu mulai terbuka didapatinya wajah khawatir sang saudara. Cepat-cepat ia bangkit dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Ia tersenyum kemudian berujar, "Lho Wiy kenapa, butuh sesuatu?" Tanya anak itu dengan suara parau.
"Apasih, gak! lo sakit kan?"
"Hah? Nggak." Bocah itu menggeleng lemah. Berusaha meyakinkan sang saudara.
Wira memutar bola matanya malas. Bosan dengan Naka yang tak pernah terbuka kepadanya. "Lo kenapa sih, kalo ada sesuatu gak pernah bilang gue. Gue ini saudara lo. Lo gak butuh gue? Ngerasa bisa ngurus diri lo sendiri? Gak butuh orang lain, gitu?" Murkanya.
"Wiy, gak gitu... gue cum-"
"Udahlah, diem kalo masih lemes! jangan tidur dulu. Gue bawa kompres sama obat bentar." Masih dengan wajah masam bocah itu melangkahkan kakinya keluar.
Naka menghembuskan nafas kasar. Memijat kepalanya yang semakin pening setelah mendengar ocehan Wira. Naka bukan tak ingin membagi bebannya, hanya saja ia sudah terbiasa memendamnya seorang diri.
Karena terbiasa dengan rasa sakit bisa membuatnya semakin kuat, lebih dewasa dan tidak manja. Itu adalah yang selalu diinginkan sang Ayah dari dirinya. Tapi sayangnya, Danu tak pernah melihat perjuangannya. Sang Ayah selalu menyimpulkan Naka adalah anak manja yang jauh dari kata dewasa.
Satu tetes air mata lolos meluncur di pipi mulusnya. Betapa sulitnya bocah itu menaklukan hati sang Ayah. Sulit sekali ingin merasakan dimanja oleh seorang Ayah, seperti yang selalu kembarannya dapatkan. Tap, Naka tak pernah iri karena ia tahu diri.
"Makan dulu, Ka." Wira menyimpan nampan diatas nakas. Kemudian diambilnya mangkuk yang berisikan bubur. "Bisa makan sendiri gak?" Tanyanya sembari menyodorkan mangkuk yang ada ditangannya.
"Bisa lah. Ini tangan gue masih nempel." Lelaki berwajah pucat itu mengambil mangkuk yang disodorkan sang kembaran.
Dengan pelan sekali ia memakan bubur itu. Perutnya sekarang benar-benar nyeri. Menelan sedikit saja rasanya sulit. Tapi ia tak mau mengecewakan Wira yang telah membuatnya.
Hingga tak terasa hampir setengahnya ia habiskan, walau dengan waktu yang tidak sebentar. Wira melihat wajah sang kembaran yang memerah ketika memaksakan bubur itu untuk masuk kedalam perutnya. "Kalo gak kuat, udah dulu aja," ujar Wira.
"Gak papa, dikit lagi kok." Senyum paksa itu terpatri diwajahnya.
"Muntah lo nanti."
Naka hanya nyengir. Kemudian menyodorkan mangkuk itu pada Wira. "Maaf ya Wiy, gak habis. Gak kuat gue hehe."
"Iya, udah, nih minum dulu obatnya." Wira menyodorkan minum dan satu butir obat penurun demam.
Naka kemudian menenggak obat itu, setelah selesai kemudian menyimpannya di atas nakas. "Tidur gih Wiy, gue juga mau tidur capek banget," ucapnya kemudian membaringkan tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAKA [END]
Teen Fiction"Biarkan hanya aku yang merasakan luka dan lelahku, kalian cukup nikmati saja tawaku"-- Karunasankara Narendra Tanaka. Karena bagi dia berpura-pura bahagia adalah cara untuk mengurangi beribu lelahnya. "Sebelum Tuhan memanggilku, aku hanya ingin men...