[20]Semua Tahu

14.1K 1.3K 428
                                    

"Jangan becanda, Za! Naka waktu itu pernah periksa dan cuma luka lambung doang, kok." Elina menatap tak percaya kearah Reza ketika Dokter itu keluar dari ruang rawat Naka dan mengatakan kondisi anak itu yang sebenarnya.

"Gak sempet tes darah 'kan? Pantes aja kalau dokternya waktu itu salah diagnosa. Dan setelah itu kalian terlalu menyepelekan penyakit Naka. Sampe gak sadar kalau dia punya kanker."

"Gak mungkin, Om. Orang selama ini Naka sehat-sehat aja keliatannya," Wira menyahut merasa tak percaya dengan apa yang dipaparkan Om nya tadi.

Reza membuang nafas kasar. "Keliatannya aja 'kan? Kalian terlalu buta sampai gak peka sama kondisi Naka."

"Omongannya dijaga ya, Za. Liat, sekarang kamu lagi ngomong sama siapa, ini keluarga Mas-mu, lho. Mulutnya kayak gak pernah disekolahin aja!" Tegas Danu yang mulai tersulut emosi dengan perkataan adiknya.

Dengan Wajah datar, Dokter itu kembali berujar, "maf Mas kalau Eza lancang." Lelaki itu menatap keluarga dihadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Selama ini dia minta Aku buat rahasiain tentang penyakitnya dari kalian. Naka bilang dia takut ngerepotin orangtuanya. Diajak kemoterapi gak mau, alasannya gak punya uang. Padahal aku sukarela buat biayain semuanya. Tapi, tetep aja dia gak mau."

Reza masih teringat perkataan anak itu ketika datang kerumahnya beberapa minggu yang lalu.

"Om, dengan kemoterapi belum tentu sembuh 'kan? Gimana kalau ujung-ujungnya Naka mati, dan belum sempet lunasin biaya kemoterapi ke Om Eza. Naka takut, Om. Nanti Naka mati bawa utang dong, kan itu gak boleh. Dosa Naka aja udah banyak masa mau ditambah lagi."

Pria dengan balutan jas putih itu ingat raut keponakannya. Naka masih bisa terkekeh ketika mengatakan itu. Padahal jelas terlihat manik itu berusaha menahan laju air netranya.

"Kalian terlalu gak peduli sama dia, sampe anak itu gak berani buat ngakuin tentang ini ke orangtuanya sendiri." Lanjut Dokter itu.

Elina sudah menangis ketika Reza memaparkan semua tentang Naka. Wanita itu merasa gagal menjadi orang tua, ia ingat perlakuannya selama ini pada Anaknya. Entah kenapa Elina berani memperlakukan bocah itu layaknya pembantu, ucapannya selama ini pasti melukai hati anak itu.

Sosok Bunda yang selalu menjadi pelindung untuk Naka kini hilang tertelan waktu. Elina tahu saat itu tak ada lagi sandaran bagi si sulungnya, Bocah itu pasti merasakan sakitnya seorang diri, karena tak ada lagi tempatnya berbagi.

Dan satu kata yang dirasakan Elina sat ini, menyesal.

"Iya, Za. Mbak tahu mbak yang salah. Sekarang boleh kita liat Naka?" Tanya Elina sembari mengusap air matanya.

"Silahkan, Naka lagi tidur. Jangan dibangunin dulu, tunggu dia bangun aja." Reza menggeser tubuhnya yang tadi menghalangi pintu ruangan.

Baru saja Elina akan memutar knop pintu. Tapi, pergerakannya terhenti, karena Wira kembali berucap, "Om, Naka udah stadium berapa?" Tanyanya. Sedaritadi rasa bersalah sudah menggerayami perasaan Wira.

"Tiga," jawab Reza singkat.

Danu menarik satu sudut bibirnya. "Belum stadium akhir," ucapnya santai.

Reza melotot mendengar perkataan sang Kakak. "Mas! Eza tahu mas Danu gak ngambil kuliah bidang kedokteran. Tapi gak mungkin sebodoh itu, sampe gak tahu bahayanya Kanker." Ia menggelengkan kepala dengan jalan pikiran kakaknya.

Masih dengan wajah santainya, Danu kembali berucap, "Naka itu gak lemah, selama ini aja aku liat dia baik-baik aja."

Elina yang merasa suasana semakin tidak baik cepat-cepat menengahi. "Mas, udah. Ayo kedalem."

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang