PROLOG

27 4 6
                                    


"Ih, kenapa sih, dia susah sekali peka nya?" Tanyaku gemas dalam batin.

"Hei, kamu kenapa? Kok kelihatannya lagi kesel banget?" Tanya seseorang.


Suara itu membangunkanku dari lamunan. Ah, ternyata itu sahabatku, Tiana. Gadis berambut ikal itu duduk di depanku sambil membawa semangkuk bakso yang terlihat menggiurkan.


"Ah, gapapa kok. Lagian kan muka ku emang gini kali, hahaha." Sahutku sambil mencoba menutupinya.

"Hm..., lagi jatuh cinta ya? Ciee, hayolohh sama siapa" Tanya nya sambil menyikut lenganku.


Aku yang mendengar itu terbata-bata untuk menjawabnya.


"Eh e-enggak, bu-bukan gitu," Ucapku berusaha keras untuk tenang.

"Ah, udahlah bilang aja, kek aku siapamu aja," kata Tiana meyakinkanku.


Mungkin memang benar yang dikatakan orang, kekuatan persahabatan itu ada dan dampaknya sangat kuat. Mungkin itu yang terjadi pada kami, aku dan Tiana. Entah kenapa, terkadang kami dapat saling membaca pikiran. Aku tahu perasaannya, dia tahu perasaanku.

Tapi aku enggan untuk mengatakan yang sejujurnya ke Tiana. Ini bukan hanya semata-mata menutupi fakta kalau aku jatuh cinta kepada Rio. Aku hanya merasa, sepertinya sahabatku ini juga memiliki perasaan yang sama denganku untuk Rio, aku tidak mau mengganggu suasana hatinya. Selain itu, aku juga tetap ingin bersahabat dengannya.


"Gapapa Tin, dah makan aja. Btw, gw laper bat nih. Bentar ya," kataku sambil pergi ke warung bakso terdekat.

"Hm... Iya deh, pesen dulu gih," Jawab Tiana.


Bruak.


"Aduh. Siapa sih ini?! Gabisa liat apa kalo pas jalan!" Seru ku agak kesal.

"Eh, eh, maaf, aku ga tau, sorry banget Lun. Kamu gapapa kan?" Tanya suara itu.


Tunggu, kelihatannya aku tau deh pemilik suara ini.

Segera aku bangkit berdiri dan membetulkan rambutku yang agak berantakan akibat terjatuh, bukan, lebih tepatnya ditabrak orang ini.


"Kamu gapapa kan?" tanya nya lagi. 


Aku langsung membeku di tempat karena malu. Iya, benar, orang itu tak lain dan tak bukan adalah Rio. Aku masih terpaku malu. Kenapa ini? Kenapa pipiku rasanya panas sekali?


"Lun, kok diem?" Tanya nya lagi.

"E-eh, eeh iya, mau beli bakso," Jawabku.

"Hah?" Tanya nya agak bingung.


Sontak, aku langsung sadar apa yang sebenarnya dia tanyakan dan apa yang kujawab. Aku sudah sangat malu ini, bagaimana ya?


"Engga, kan kamu abis nabrak aku. Sebagai gantinya kamu beliin aku bakso," jawabku dengan sedikit tegas. Tapi, pipiku masih panas, ya Tuhan...


"Oh... Iya deh aku beliin, mau yang apa?" Tanya nya polos.

"Bakso sapi biasa aja," jawabku.

"Oke, tunggu sini ya, bentar." Ucapnya berusaha keras untuk tidak membuatku kesal.

"Iya, dah buruan sana." Suruhku pura-pura kesal.

"Iya Lun, iya, sabar ya." Katanya menenangkan.


────────────○○────────────


­tok tok tok


Bunyi ketukan itu mengganggu tidur nyenyak ku lagi.


"Kenapa sih kucing tetangga itu? Aku kan jadi ga bisa tidur." Gerutu ku dalam batin sembari mencoba mencari asal suara itu.


"HOLY  SHI*ET!" Seruku sedikit berteriak karena terkejut. Aku melihat suatu bayangan gelap di depan jendela kamarku. Aku bisa melihat seringainya dan mata merah menyala miliknya. Sepertinya dia membawa sesuatu.


"ASTAGA! ITU KAN PISTOL. MAU APA DIA DENGAN SENJATA SEPERTI ITU KEPADAKU?" Pikirku.


Seringainya. Sangat mengerikan. Bagaimana ini? Aku sangat ketakutan sampai tidak bisa bergerak. Tidak, dia mulai mengangkat tangannya, mengarahkan pistol itu ke arahku.


"HAHAHAHA...." Tawa mengerikannya keluar. Bersamaan dengan itu....


DUAR

Luna's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang