Ayah

18 6 1
                                    

Pagi yang mendung tak menyurut kan semangat Na Jaemin untuk berangkat bekerja. Di umur yang belia ini mengharuskan ia mencari sumber penghasilan sendiri, dikarenakan ayahnya yang tak mau membagi sedikit pun rezeki nya kepada sang anak. Dan hal itu memaksanya untuk pergi mencari uang.

Dengan badan di penuhi luka cambukan, ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh nya. Dengan berbekal handuk serta tongkat kayu kecil untuk membantunya berjalan, Jaemin menuju kamar mandi di sebelah kamarnya.

Baru saja ia mencapai gagang pintu kamar mandi, Jaemin di kejutkan dengan teriakan keras dari arah pintu utama rumah. Jaemin yakin itu adalah Na Jin Ho, ayahnya.

Jaemin berusaha menggapai tembok untuk membantunya berjalan, tongkat yang sebelumnya ia pegang terlempar ke sudut ruangan akibat kaget yang tak terkendali. Dengan susah payah akhirnya Jaemin sampai di depan pintu rumah.

Jaemin bisa merasakan ada suara langkah mendekat ke arahnya.

"Ayah, kaukah itu?" Tanya Jaemin dengan suara bergetar seraya menoleh kan kepalanya. "Yah? Mengapa kau tidak pulang semalam? Apa sesuatu terjadi padamu? Apa ayah baik baik saja?" Sia-sia Jaemin menunjukan kekhawatiran nya, karena hal itu pasti akan di abaikan oleh sang ayah.

"Jangan panggil aku ayah, anak sialan!" Sarkas ayahnya. Tak peduli perkataannya menyakiti hati sang putra.

Dengan langkah terseok, Jin Ho memasuki rumah nya, tak memperdulikan anaknya yang menahan tangis di depan pintu.
Jin Ho memasuki kamar nya dan membanting pintu yang membuat Jaemin berjengkit kaget.

Ayah sayang padaku, aku tau itu.
Batin Jaemin meredup,padahal Jaemin tau kata-katanya itu hanya bersifat semu.

Dengan perlahan dia berjalan menuju dapur untuk membuat sandwich sebagai menu sarapan ayahnya. Selalu seperti itu setiap pagi, membuatkan sarapan sederhana untuk ayahnya, dan selalu berakhir di tempat sampah.

Perih.

Hatinya masih sangat perih mengingat perilaku ayah terhadapnya. Kapan ia bisa memanggil ayah? Kapan ia bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ayah?

Kamar mandi adalah tempat tepat melampiaskan kesedihannya saat ini.

Luruh sudah air mata membasahi wajahnya, suara tangisan rintih mengisi ruangan pagi itu.

Apa ibu bahagia di sana? Jika iya, maka akupun bahagia.

***

Hari yang melelahkan bagi Jaemin. Di awali dengan terlambat datang di cafe tempat kerjanya. Akibat terlalu lama menangis Jaemin jadi melupakan kewajiban pagi-nya untuk berangkat bekerja.

Beruntung nya ada Sora, teman satu shift Jaemin serta sahabat berbagi Jaemin bisa mengambil alih kerjaan selama Jaemin belum datang serta memberi alasan kepada kepala cafe tempatnya bekerja.

Hanya bergantung pada cafe itu Jaemin bisa makan. Karena, hanya itu satu satunya tempat yang bisa menerima pekerja putus sekolah. Tak ada yang mau menerima pekerja berketerbatasan seperti ia. Tak ayal Jaemin sangat bersyukur diterima kerja di situ.

"Jaemin, bisa tolong antar kan kopi ini ke meja ujung?" Pinta Sora.

"Bisa, tunggu sora, aku akan kesana" dengan perlahan menuju meja pelayanan untuk mengambil pesanan.

" Baiklah, terima kasih Jaemin-ah" goda Sora yang membuat pipi Jaemin bersemu merah muda.

"Aish, jangan menggoda ku Sora-ya" Malu Jaemin mengulum senyumnya.

"Astagaa, kau lucu sekali jika sedang malu" pekik Sora tak tau malu.

Jaemin segera bergegas mengantar pesanan sebelum dirinya di goda habis habisan oleh Sora.
Huh, Sora membuatku malu saja.
Gerutu Jaemin dalam hati.

Hanya saja, Jaemin tak tau jika Sora melihat luka membiru di punggung tangan Jaemin. Bekas cambukan panjang ke dalam lengan Jaemin terlihat baru.

Apa pria itu melakukannya lagi?!
Benar-benar pria gila!
Kata-kata itu hanya bisa di ucapkan dalam hati Sora. Dia benar-benar geram terhadap pria tua yang berstatus ayah sahabatnya itu. Walaupun Jaemin tak pernah mengeluh apapun, tapi Sora bisa merasakan apa ada di dalam tubuh terbalut seragam waiter itu.

Lihat saja, jika dia menyakiti sahabat ku lagi, takkan kubiarkan dia menyentuh Jaemin sedikit-pun!

lismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang