Dingin nya udara malam membuat Jaemin tak berhenti menguap menandakan ia mengantuk. Walau tak bisa melihat tapi Jaemin tau jika ini sudah lebih jam 10 malam. Terlebih lagi jika hanya tersisa dia di cafe. Jika tau begini mungkin dia bisa lebih cepat membersihkan meja-meja cafe.
Jaemin pulang bertemankan dingin nya angin malam, hanya terdengar suara ketukan tongkat dan langkah kaki nya sendiri di tengah gelap nya malam.
Tak mudah bagi seorang disabilitas seperti Jaemin berjalan sendiri setiap hari menuju cafe ataupun pulang kerumahnya. Tidak ada orang terdekat yang membuat Jaemin harus terbiasa untuk hidup sendiri. Hanya kepedulian sesama lah yang bisa membantunya. Seperti saat ini, ia bertemu seorang wanita berumur mungkin 30 tahunan menurut Jaemin, Membantunya berjalan menuju rumah.
"Harusnya ibu bisa membiarkan ku berjalan sendiri kerumahku, lagipula ini tidak terlalu jauh. Dengan begitu ibu bisa datang lebih cepat kerumah mu bu" tegas Jaemin. Ia tak mungkin lancang langsung memanggil ibu saat pertama kali bertemu, wanita itu yang memintanya untuk memanggil ibu.
"Tidak, mana mungkin aku bisa membiarkan seorang remaja seperti mu berjalan sendirian tengah malam, tidak bisa!" Dengan nada tegas layaknya seorang ibu, Yoona-wanita itu-berbicara.
Sejak awal bertemu, sikap Jaemin sedikit menyentil hati Yoona. Jiwa ibu yang lama terkubur itu, kini kembali menunjukan eksistensinya.
Pertemuan singkat itu membuat hati Yoona menghangat."Tapi jika begini bagaimana ibu bisa pulang? Aku yakin ini pasti sudah gelap dan terlebih lagi ini dingin bu. Nanti ibu bisa sakit" Tak dapat di pungkiri jika Jaemin khawatir dengan ibu baru-nya itu. Pertemuan pertama ini sungguh berkesan dalam diri Jaemin.
Ini pertama kali-nya ia bisa merasakan hangat-nya kasih seorang ibu. Jika mungkin bagi kalian hal ini terlihat biasa saja, maka tidak bagi Jaemin, malam yang gelap menjadi saksi bisu kebahagiaan seorang Na Jaemin. Selama dia mendapat bantuan dari orang lain, hanya ini yang begitu membekas di hatinya, benar-benar membekas.
"Tidak apa apa Jaemin, ibu baik baik saja" jelas Yoona seraya membalas argumen Jaemin. "Baiklah, kalau begitu masuklah, ibu akan pulang setelah kau masuk"
"Iya bu, terima kasih. Ini masih pertemuan pertama kita, tapi kau sungguh baik kepadaku. Semoga selanjutnya kita bisa bertemu lagi bu"
Tau taukah dia ucapannya menggetarkan hati perempuan itu?"Iya Jaemin, semoga saja"
***
Sunyi, dingin, mencekam.
Itulah kata yang menggambarkan keadaan rumah Na Jaemin. Walaupun rumah besar dan berkecukupan, tetapi Jin Ho takkan berbesar hati memberikan selembar uang pun pada Jaemin.
Tak memerlukan waktu lama bagi Jaemin untuk membersihkan tubuhnya. Lagipula hal itu tidak terlalu penting sekarang. Tidur, hanya tidur yang di inginkan Jaemin.
Tetapi, nampaknya keberuntungan tak berpihak padanya sekarang.
Ayah nya datang, mendobrak pintu kamar Jaemin dengan brutal.
Jaemin membeku, napas nya tercekat. Sungguh, dia sangat takut sekarang. Beberapa memori tentang rasa sakit yang datang saat sang ayah melampiaskan amarah terputar kembali dalam ingatan nya. Dia tidak dapat melihat bagaimana luka yang di berikan kepada tubuhnya, hanya perih yang bisa menggambarkan keadaannya saat itu.Tidak! Tolong jangan lagi. Aku mohon berhenti disana. Lidah nya serasa kelu untuk sekedar mengeluarkan sepotong kalimat permohonan.
Dengan langkah besar sang ayah mendekati putranya, Jaemin yang mendengar itupun segera berjalan mundur hingga ia mencapai meja nakas nya. Berlari pun hanya akan percuma mengingat pandangan nya yang terbatas.
Begitu sampai di depan anaknya, Jin Ho memukul pipi Jaemin keras, terdengar suara retakan akibat pertemuan antara tulang jari dengan tulang rahang tersebut.
"Sialan kau! Mengapa kau ada dalam hidup-ku hah?!" Hardik Jin Ho menggila. "Karena mu istriku mati sialan!"
Jin Ho menggila, ia memukuli wajah Jaemin dengan tangannya. Tak sampai disitu saja, dengan kaki yang setia menendang beberapa bagian tubuh Jaemin tanpa ampun. Tatapan-nya mengkilat tajam penuh amarah, teringat istri yang meninggal saat melahirkan Jaemin. Melupakan hal bahwa yang ia sakiti adalah putranya, putra kandung.
"Ayah! Ayah, ampun ayah! Ampun!" Teriak Jaemin beserta tangan yang sibuk melindungi wajah serta bagian perut-nya, agar sesuatu di dalamnya tidak perlu menjadi sasaran kemarahan sang ayah.
"Bangsat! Jangan memanggilku dengan sebutan sialan itu!" Emosi yang awalnya mereda kembali memuncak karena suara putranya
"Aku bukan ayahmu!"Dalam sekali tendangan, tubuh Jaemin ambruk, dengan tangan kanan menumpu berat badannya dan tangan kiri meraba raba sekitar berharap mendapat benda yang bisa membantu melindungi tubuhnya, walau hanya dingin-nya lantai yang dapat di raih nya.
"Uhuk-uhuk, ibu meninggal bukan karenaku ayah. Sadarlah! Itu sudah takdir dia meninggal!" Nada suara nya bergetar bersamaan dengan batuk di sertai darah keluar dari mulut dan hidungnya.
"Jaga ucapanmu anak sialan!"
"Kau, seharusnya kau yang mati bukan istriku. Dasar pembawa sial!"
Geram Jin Ho. "Takkan ku biarkan hidupmu tenang Na Jaemin"Tak memperdulikan rintihan sakit sang putra, Jin Ho lantas pergi seraya membanting pintu, ia benar-benar menulikan pendengaran-nya.
Ibu, benar kata ayah. Seharusnya aku yang mati, bukan ibu. Dengan itu ayah dan ibu akan bahagia. Kau tahu bu, jika kebahagiaan kalian adalah segala-gala nya bagiku.
Kesadaran Jaemin hilang bersamaan dengan tertutup nya pintu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
lism
FanfictionBagi Jaemin, kebahagiaan ayah adalah hal yang paling utama. Walaupun ia harus mati sekalipun jika ayah nya bahagia maka akan Jaemin lakukan.