"Eh, Zul, kamu ada cerita apa nih, diJakarta?" Tanya Raihan membuka pembicaraan, sambil menyeruput kopinya yang sudah tidak panas lagi. Seperti biasa, mereka mengabiskan waktu luang mereka di gubuk tercinta, entah sekedar ngopi, atau ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas."Seperti biasa, ngelakuin sesuatu yang bikin bahagia" Jawab Zulfan, tersenyum miring, matanya menerawang kedepan, entah apa yang ia pikirkan.
"Kamu emang nggak berubah, Zul" Raihan meninju pundak Zulfan.
Zulfan memang tidak pernah berubah, dan mungkin sulit untuk berubah, masih sama, masih suka melakukan sesuatu yang menurutnya bahagia.
"Sekali-kali lah Zul, kamu itu ngelakuin sesuatu yang bermanfa'at. Hidup itu cuma sekali, jadi jangan buang-buang waktu buat yang unfaedah" Sahut Haidar, dengan prinsipnya yang juga tidak pernah berubah.
"Yee, justru hidup cuma sekali, Dar. Harus dinikmatin. Ya nggak, Zul?" Protes Raihan, temannya yang satu itu harus tahu, hidup itu bukan sekedar fokus pada kelurusan jalan, adakalanya kita juga butuh beberapa tikungan untuk melewati vase hidup yang sedikit membosankan ini.
"Hmm" Zulfan menyetujui.
"Terserah kalian lah, yang rugi kan bukan aku, pokoknya udah aku ingetin"
Ya beginilah kalo mereka bertiga sudah kumpul, seringkali mendebatkan prinsip yang sedari dulu tak pernah sejalur, kecuali Zulfan dan Raihan, yang hampir sejalur.
"Balik, yuk! mau Ashar" Zulfan melirik arloji dipergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, pertanda mereka harus segera balik ke pesantren. Kembali kerutinitas.
Zulfan beranjak dari tempatnya, disusul Raihan dan Haidar dibelakangnya.
Tempat gubuk mereka yang strategis sekaligus mewah (mepet sawah), membuat mereka harus melewati sawah terlebih dahulu, untuk sampai diasrama."Zul, kamu beneran, mau tinggal disini?" Haidar akhirnya melontarkan pertanyaan yang sedari tadi membuatnya penasaran.
Zulfan menghentikan langkahnya, menatap Haidar sembari tersenyum getir, "Rumahku kan disini, Dar"
"Maksudnya, kamu siap melakukan sesuatu yang mereka inginkan? kamu, mungkin akan sulit menemukan-kebahagiaan"
"Iya Zul, kamu juga mungkin nggak bisa sebebas dulu" Sahut Raihan.
Zulfan kembali melanjutkan langkahnya, "Aku udah nggak bisa menghindar lagi, Rai, Hai.."
"..Ada kalanya kita harus menghadapi sesuatu yang harus kita hadapi, bukan lari sebagai pengecut. Aku juga nggak tau, sejauh mana aku bertahan.
Tapi, kalian akan bantu aku ngelewatin semuanya, kan?"
---------
Oke, ini adalah Hari ketiga Zulfan di Pasuruan, setelah tiga tahun memutusan mondok di Jakarta. Pesantren milik pakliknya sendiri tentunya.
Sebenarnya, bukan tanpa alasan kedua orang tuanya menempatkan Zulfan disana. Apalagi kalau bukan paksaan dari Zulfan, yang mengancam tidak akan mau mondok, kalo tidak di pakliknya sendiri.
Yaa, daripada anak bandel itu tidak mau menginjakkan kakinya di pesanteren, akhirnya mau tak mau, Kiai Ahmad, dan istrinya Nyai Khodijah, menyetujui permintaan anak itu.
Zulfan notabanenya tau, kalo Ami Faruq, paklinya itu, sangat baik hati, dan tidak terlalu berani untuk menegur Zulfan. Jadi bisa di bilang, dua tahunnya di Jakarta, ia habiskan untuk hal-hal yang menurutnya bahagia. Tanpa sedikitpun diketahui kedua orangtuanya.
Tapi, sepertinya waktu tidak terlalu mendukung, untuk memberi Zulfan terlalu lama bersenang-senang dengan dunianya.
Tepat empat hari yang lalu, Ami Faruq memberi kabar, kalo Abah Muhammad, kakek Zulfan, sedang sakit keras, dan meminta Zulfan, untuk segera kembali ke Pasuruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qishotuna
Teen Fiction"Menurutku, tidak ada hal yang lebih penting daripada sebuah kebahagiaan" Zulfan Ahmad "Menurutku, tidak ada hal yg lebih indah, daripada teriakan mendambakan para kaum hawa" Raihan Muhammad "Dan, menurutku, tidak ada hal yg patut diperjuangkan, kec...