Bagian 1

28 3 7
                                    

"Rahwana simbol angkara murka. Dan Shinta, istri Rama, simbol kelembutan hati. Sang penebar angkara, pada akhirnya tunduk pada yang dinama hati," ujar ibu sembari menengadah ke langit-langit kamar yang gentingnya penuh tambalan, pun tak berarti apa-apa untuk dijadikan payung oleh sang empu.

"Jadilah yang kedua, nak. Untuk menjadi sebaik-baik imam di keluargamu, jauhkan hatimu dari angkara-meski barang setitik nila. Tak peduli siapa istrimu, bagaimana tabiatnya, kau harus menjadi segalanya guna membuat istrimu nanti jauh dari mala. Baik di dunia maupun di kehidupan selanjutnya," lanjut ibu panjang lebar dengan menggenggam kedua tangan Dio, putra semata wayangnya

"InsyaAllah ibu, Dio tidak akan lupa. Aku harus menjadi segalanya seperti halnya Ibu yang telah berusaha menjadi segalanya guna membuatku jauh dari derita, meski dalam hidup yang serba kurang. Terimakasih Ibu, terimakasih telah merawatku dengan sepenuh hati. Cepat sembuh, sukses nanti, akan kubelikan apa saja yang Ibu mau," jawab Dio bersamaan dengan kedua pelupuknya yang telah basah, seakan mengisyaratkan bahwa ia tengah berkisah.

"Umur Ibu tak lagi panjang, Dio. Kau harus mengerti, sudah saatnya Ibu kembali ke haribaan-Nya. Jika bukan sekarang, Ibu rasa besok. Jangan persiapkan dirimu untuk menangisi Ibu. Persiapkan dirimu untuk mengikhlaskan kepergian Ibu,"

"Satu dua lagi, ini permintaan Ibu yang terakhir kali. Tolong yasinkan Ibu sekarang nak, doakan Ibu untuk dapat menjalani sakaratul maut dengan mudah. Jangan berhenti sampai disini, terus doakan Ibu tiap-tiap harinya. Jangan lupa kunjungi makam ibu,"

"Ibuuu, hiks hiks hiks hiks.."
"Dio takut, Bu,"

"Jangan pernah merasa takut. Ketika kau sampai pada titik dimana tidak ada seorangpun yang mau menemanimu, ingat bahwa Allah selalu ada untukmu, nak."

"Nak, Ibu mohon, yasinkan Ibu sekarang," kata Ibu dengan menampilkan wajahnya yang sayu

"Dengan senang hati, Bu,"
"Bu, apakah ketika Ibu telah tiada, Ibu akan benar-benar meninggalkan Dio? Dimana keberadaan Ibu, nanti?"

"Dio, anak Ibu yang tersayang, Ibu akan selalu di sini, di hatimu. Beri celah selebar-lebarnya untuk Ibu di dalam sana, ya?" jawab Ibu sembari meletakkan tangan kanannya di dada Dio

"Pasti, Bu. Bahkan nantinya, istri Dio tak akan mendapat tempat seluas Ibu. Baiklah, Dio mulai ya, Buu"

"Audzubillahiminasyaithoonirrajim, Bismillahirrohmannirrohim, yaasin.."

Hingga pada ayat ke-83,

"Asyhaduanlaailaahaillallah, waasyhaduanlaa muhammadarrasuulullah,

Dio, ikhlaskan Ibu. Terimakasih, nak,"

Deg

"Hiks hiks hiks, Ibuuuuuu!"

"Tolong, tolong, tolong!" teriak Dio histeris

Syukurlah. Tetangga dekat Dio mau ikut andil untuk mengurus kematian Ibu. Wajah Ibu yang sayu telah semakin sayu, tubuhnya kering kerontang, lantaran terlalu sering tidak makan. Hidung mungil Ibu, tak lagi kembang kempis seperti tatkala tengah memarahi Dio. Dan tangan Ibu, tak lagi sanggup barang sepersekian detik untuk sekedar mengelus kepala Dio. Ibu telah benar-benar pergi.




° ° °



DIO'S POV

Aku masih ingat bagaimana Ibu berceritera mengenai diriku, mengenai seluk-beluk ku. Ibu Ndari memang bukanlah Ibu kandungku. Namun, dia adalah satu-satunya orang yang sangat berarti untukku, serta hidupku-pun bahkan melebihi seberapa berartinya Ibu kandungku sendiri yang dengan sangat teganya membuangku di pinggir trotoar dengan dimasukkan ke dalam kardus tak layak pakai. Dari kecil aku sudah berucap dendam atas ibuku dan ayahku. Aku tidak akan pernah sudi menemui mereka sebelum mereka berikrar sumpah bahwa mereka hanya terpaksa membuangku. Atau, kalau memang mereka benar-benar tidak menginginkan keberadaanku sedari dulu, toh akupun tidak menginginkan pula lahir di tengah-tengah mereka. Besar sekali kemungkinan bahwa aku anak hasil hubungan gelap mereka. Jika memang aku tidak diinginkan, mengapa mereka berbuat senonoh? Sudah tentu mereka akan menjawab: kami tidak sengaja. Jawaban klise yang telah banyak diucapkan oleh pasangan-pasangan kelewat batas.

Aku sungguh menyayangi Ibu Ndari, dia segalanya bagiku. Mengapa dia harus pergi secepat ini, bahkan di usiaku yang baru saja menginjak 18 tahun. Cobaan macam apalagi ini, Ya Allah?

Aku dan Ibu memang miskin. Bukan rahasia umum bagi para khalayak di lingkungan rumah-yang tak selayaknya dikatakan rumah-kami. Ingin makan sehari-hari saja, aku harus memulung terlebih dahulu. Hasilnya tak seberapa. Satu karung besar, pemasok hanya menghargainya 5 ribu saja. Mahal sekali, bukan? Hehe. Tidak apa, aku tidak pernah menyesal dan tidak pernah malu menjadi si miskin. Setidaknya, dari kecil aku telah terbiasa banting tulang demi mendapat sepeser dua peser bahkan nihil rupiah. Pekerjaanku merangkap 3 sebenarnya. Yang pertama, aku menjadi si pemulung. Yang kedua, aku menjadi si penjaja koran di area lampu merah. Yang ketiga dan yang terakhir, aku menjadi si tukang sol sepatu-sepatu para pejabat tinggi nan elit, dengan ambisi berduit yang menggelora.

Bagiku, miskin bukanlah musibah ataupun wabah. Melainkan, sebuah anugerah tiada tara yang menjadikan kita menjadi manusia hebat, manusia yang selalu tidak ambil pusing dengan yang dinama uang, uang, dan uang.

Untuk menjadi si kaya, biasakanlah dahulu menjadi si miskin. Apalah arti satu milyar, bila seratus rupiah pun tidak ada.





-TBC





Purwokerto, 11 Juni 2020
regardly,

sasa

DIOGENES RANAH PASUNDAN [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang