︎
︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎DADAKU MENGGELEGAK seolah jantungku seperti akan mencelat keluar dari tempatnya berdetak.
Kakiku yang hanya terbalut sepatu berbahan tipis kubiarkan memacu di atas timbunan jenggala salju—aku sudah tak peduli dahan pepohonan yang menggores habis kulitku.
Mataku memandang lemas sekeliling yang telah habis terengkuh gulita.
Tangan besar nan gemuk tetiba menggenggam lenganku, aku terperanjat hingga langkahku terpeseok.
Pria berumur sekitar akhir 40-an ini menggenggamku erat sambil berteriak ibarat orang gila yang berhasil mendapat buruannya—ia adalah perampok.
Perampok yang membantai keluargaku.
"Tertangkap juga kau!"
Pria itu terbahak, lalu beberapa menit setelahnya temannya—pria tua yang kurus kerontang—datang dan memandangiku dengan tatapan mengerikan dan mengendusku.
Pria gemuk itu mengusap pipiku. "Bagaimana kalau kita biarkan saja dia hidup? Gadis ini cantik, kalau kita lelang ke orang-orang kaya di kota mungkin akan laku mahal."
"Ide bagus," temannya membalas, terkikik.
Memanfaatkan momen tatkala mereka berbincang—berdiskusi tentang hal buruk yang akan mereka lakukan padaku, mataku fokus memandang pistol yang berada di saku celana pria besar itu: pistol yang mereka gunakan untuk membantai keluargaku.
Lalu aku mengambilnya dengan sigap, menembakannya tepat di dada pria besar.
Temannya berteriak. Aku lekas berlari, memanfaatkan sekelumit energi yang tersisa di aliran tubuhku.
"Jalang!"
Bodohnya ia tak mengejarku; memilih mendekap temannya yang bersimbah darah—mewarnai salju putih di bawahnya dengan cairan merah kental.
Lalu aku mendengar lolongan serigala setelahnya; aku tak peduli dan terus melangkah hingga kurasa sudah cukup jauh.
"Aku benar-benar akan mati malam ini," aku berbisik pada diriku sendiri dengan suara serak terengah-engah dan langkah yang tertatih.
Mengingat situasiku sekarang, aku menahan agar rintik air mata tak keluar dan membasahi pipiku.
Udaranya begitu dingin, serasa akan membekukan darahku beberapa detik lagi.
Suhunya rendah dan sekeliling hanya ada pepohonan pinus yang tertangkap di netra—aku harus mencari gubuk. Atau menginap di tempat orang, mustahil, kota dan desa terdekat masih sangat jauh.
Walhasil aku kembali melangkah sembari menunduk menatap rimbunan salju di bawahku, hingga mansion bernuansa gelap dengan cat hitam dan pagar besi yang mengelilinginya pun menarik perhatianku dengan cepat.
Tak nampak ada jendela di mansion itu, pun balkon. Aku yakin umur mansion ini lebih tua dari umurku digabung umur kakekku sekalipun—nampak seperti manor bangsawan Eropa pada abad pertengahan.
Aku berjalan melewati gerbang besi yang tak terkunci. Mansion yang begitu besar: pastilah orang yang memilikinya adalah saudagar kaya raya.
Tubuhku merasa—bukannya mendengar: ada orang atau sesuatu yang berdiri di celah sempit di ajitara garasi dan pagar di belakangku.
Aku menyipit memandang area gelap itu. Kalau saja ada sesuatu bergerak, aku akan tahu apakah itu cuma kelinci atau yang paling ditakutiku, hewan buas.
Atmosfer sekeliling tiba-tiba terasa berat, pohon yang sedari tadi terhuyung seketika senyap membisu.
Dengan ragu aku mengetuk pintu kayu besar trembesi dihadapanku. Suara ketukan itu menggema dengan nyaring—bersamaan dengan rasa sangsi bahwa tiada orang disini yang terus menggema di labuhan benakku.
Pintu itu perlahan terbuka dengan sendirinya, seolah membiarkanku masuk. Lantas, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalamnya.
"Pe-permisi..."
Gelap, lengang. Aku mendongak—sumber pencahayaan hanya dari lampu gantung besar dengan belasan lilin.
"Hoam, tidur 100 tahun pun bagiku masih kurang," tutur lelaki berambut gradasi pirang dan hitam legam, ia menguap terus menerus—tunggu, apa maksudnya tidur seratus tahun?
"Aku mencium aroma darah segar—ah, nikmat sekali. Nostalgia rasanya."
Lelaki bersurai cemani legam tetiba telah sampai di belakangku, mengendus-endus tengkukku yang telanjang bebas, memandangku intens dengan kedua pupil biru teduhnya.
Napasnya merambati kulitku, jemarinya yang sedingin mayat merengkuh pinggang milikku erat.
"Tu-tuan?"
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
ff gagal anjig
hruskah ak unpublish lgi???

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐋𝐎𝐎𝐃𝐒𝐔𝐂𝐊𝐄𝐑 ━━ hq vampire.
Fanfiction︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ ︎ 📜 ̫ . ❝ lebih baik aku mati di hutan daripada menjadi santapan para vampir ini... ❞ [ REVISI ] ✦ © 𝟐𝟎𝟐𝟎 𝐑𝐄𝐀 ...