13 Desember 20XX
09:47 am.“Gila sih, masih ngga percaya gue.” Kian berkata begitu sambil menatap pemandangan diluar kaca. Setelah satu jam lebih, mobil akhirnya memasuki area pegunungan. Ini ide Ardan yang ngga mau lewat jalan tol, dengan alibi 'gaada kesan liburannya kalo gitu'. Yang dibalas sunggutan Sena yang menyetir, ‘lo enak ya tinggal duduk, gue yang capek nih!’
“Lo udah ngomong gitu delapan kali, bos.” Sahut Ardan dari kursi belakang. Tangannya sibuk mengupas kacang. Disebelahnya, Rafa tertidur pulas sejak awal berangkat.
“Lagian, mami gue tiba-tiba ngijinin siapa yang ngga kaget? Mami gue lho, mami! Mana perginya pake mobil. Gila sih, sejarah banget ini.” Sambil menyandarkan kepalanya ke kursi, Kian menggeleng-geleng dramastis. “Mami kayanya beneran suka lo, Sen. Apa-apa kalo sama lo dibolehin.”
Sena tertawa saja, sibuk menjaga kestabilan mobil.
Mami Kian memang overprotektif. Apalagi kalau soal Kian. Apa-apa harus izin. Sama siapa harus lapor. Kian memang menghawatirkan sih, kadang mudah terbawa arus, rajin bolos, juga nekat. Sena maklum kalau mami Kian uring-uringan.
“Etdah, Kian, lo mau Sena jadi bapak tiri lo? Papah muda. Gue mah ogah.” Ardan yang gagal menangkap arti ‘suka’ dikalimat Kian, berkomentar sambil asik memamah kacang. Mendapat sambitan sayang dari Kian.
“Pantesan gue denger lo remidial ujian banyak banget, otak kok cedek gitu?”
“Yang penting gue lulus, ya, bodoamat.”
“Berisik bat, anjir, si Arab.” Rafa yang tidurnya tergangu, mulai mengumpulkan kesadarannya. Menguap sambil membenarkan posisi duduknya. Memandang sekeliling ling-lung, “Udah sampe, Sen? Gue laper.”
“Enak bener lo tidur-makan-tidur-makan. Ini masih digunung, harus turun baru sampe kota.” akhirnya Sena angkat bicara. Mencebik kesal lantaran dirinya yang harus bekerja keras. “Gara-gara Ardan nih, gue pegel banget nyetir dari tadi.”
Kota tujuan mereka, Jogja, masih jauh dibawah gunung sana. Padahal kalau lewat tol, 4 jam saja sudah sampai.
“Sabar, sabar. Lagian Cuma lo yang bisa nyetir Sen. Gua bisa sih, tapi ngga jamin selamat.” Kian meringis lebar. Tak membantu sama sekali.
“Tapi lo bener juga ya, Sen, nyetirnya. Gue udah siap-siap buat surat wasiat pas mau berangkat tadi padahal.” Ardan ikut bicara. Minta disambit Sena.
Duh, tolong jangan meremehkan orang yang lolos ujian sim C ya.
“Pengen Mekdi.” Sambil berseru begitu, Rafa merenggangkan tubuhnya. Menatap penuh minat layar mobil yang memutar lagu lewat flashdisk. “Eh, lagunya ganti dong. Twice, Twice. Gue masukin ke flashdisk kayaknya.”
“Eits, eits! Manwa Lagee dulu gan! Dari tadi barat terus, gantian lah suku gue.” Ardan menyela cepat. Pemuda keturunan arab itu mencondongkan badan, siap menyetel lagu pilihannya kalau tangan Kian tak gesit mendahului.
“Itu lagu India jir, lo Arab.” Komentar Kian sambil memencet lagu di layar mobil. “Nih, biar Sena dingin kepalanya.”
Lagu mulai mengalun pelan.
“Anjir lagu renungan”
“Gue denger ini setiap mau UN jir, sampe hafal.”
“Yang bendera kuning-bendera kuning gitu kan?”
“Iya,yang ‘pulang nanti yang menjemputmu bukan ayah-ibu, tapi ambulan.’”
“Renungkanlah, Renungkanlah!”
Keempatnya bersahut-sahutan. Agak lama tertawa. Beberapa saat kemudian, Sena kembali bersuara. “Eh, lo kok tau Manwa apalah itu lagu India, Ki? Gue taunya lagu India Cuma Tum Hi Ho. Tadi gue kira itu lagu korea.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Thysía | txt
Fanfiction[Thysía] Dalam bahasa Yunani berarti 'Pengorbanan' Untuk melangkah kedepan, terkadang kita perlu mengorbankan sesuatu. Entah harta, tahta, atau hal berharga. Nah, apa yang akan kau korbankan?