Bagian 1. Percaya?

6.2K 440 32
                                    

"Gue ngga mau maju Pemira, Suha. Gue mau fokus kuliah di semester 5 nanti," Vega yang sedang duduk di hadapan Suha memasang wajah memelas. Berharap orang yang berdiri di hadapannya ini bisa mengerti.

Ya maap ya Suha berdiri, abisnya dari tadi di suruh duduk ngga mau.

Vega dan Suha memang sedang berada di tribun lapangan hijau, tepatnya di belakang gedung kampus mereka. Setelah rapat HMJ tadi, Suha mengajak Vega bicara berdua. Ya, hanya berdua.

"Semester 3 kemarin gue dah gagal jadi mapres (mahasiswa berprestasi) gara-gara terlalu fokus sama HIMA Sekarang gue mau fokus sama akademik aja," ujarnya dengan penuh harap.

Suha masih diam. Berusaha menelaah sebaik mungkin kata yang bisa terucap. Bagaimana pun, ia hanya ingin berjuang bersama orang yang dia percaya. Dan itu adalah Vega. Meski dia sendiri belum tau persisnya kenapa.

"Jadi lo nyalahin HIMA?" ujar cowok berbadan tinggi besar itu seraya menatap tajam ke arah Vega yang terlihat ketakutan. Entah, dari sekian banyak kata yang menggelayut di kepalanya, hanya ini yang bisa ia lontarkan.

Hadeh, susah emang ngomong sama Bagong.

Bersamaan dengan pertanyaan itu, Vega berdiri dari tempat duduknya dan sedikit mendongak untuk menatap iris mata Suha.

"Bu-bukan gitu," ujar Vega dengan suara yang bergetar karena takut. Siapa yang ngga takut diajak ngobrol sama orang yang pemarah, dan keras kepala seperti Suha Rigel Seragi. Alih alih ngobrol yang ada malah berantem atau adu mulut.

"Aduh gimana sih jelasinnya biar lo paham?"

"Jelasin aja." Balas Suha cepat.

Hening.

Tatapan tajam dari Suha sukses membuyarkan semua kosa kata dalam otak Vega. Antara kekeh dan takut terus beradu memunculkan kata yang ingin ia ucapkan. Padahal simpelnya tinggal bilang ngga mau. Iya kan? Tapi dibalik satu pernyataan itu pasti ada ribuan tanda tangan yang siap diserbukan Suha padanya. Dan di sinilah letak ribetnya

Hih pengin banget gue sleding ni orang. Tapi cakep, gimana dong?

Beberapa detik bungkam, Vega memberanikan diri membuka suara setelah ia melirik wajah Suha yang terlihat mulai tidak sabar di hadapannya.

"Ya kan tahun kemarin gue sibuk banget sama proker-proker HIMA kita yang seabreg-abreg. Gue coba ikut banyak lomba tapi selalu gagal. Gue gak fokus. Gue mau ngejar ketertinggalan itu di semester depan. Gue masih pengin bisa dapet piala, dapet juara lomba. Gue pengin ngelanjutin hobi nulis gue. Gue mau nambah anak didik gue buat gue lesin biar dapet duit. Gue ... ." ujar Vega kemudian mendongak dan melirik ke wajah Suha yang masih dingin. Sedangkan lipatan di dahi Suha semakin kentara saja mendengarkan pernyataan dari Vega.

Kayaknya ngga guna juga gue ngomong panjang lebar sampe berbusa.

"Lanjutin."

"Intinya gue ngga bisa."

"Kenapa?"

"Ya Allah ya Robbi, gue kan udah jelasin tadi." Vega mulai gemas menghadapi Suha.

Kan bener, ini orang minta disleding.

"Belum."

"Intinya gue dah ngga mau sibuk sama organisasi, gue punya target lain yang harus gue capai."

"Lo bilang lo suka dipimpin gue?"

"Iya gue suka gaya kepemimpinan lo selama di HMJ. Makanya kalau boleh gue jadi menteri atau deputi lo aja di BEM daripada harus ke senat."

Kabinet VENUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang