TIME FRAME

59 1 0
                                    

Waktu adalah sebuah gambar. Ketika kita berdiri pada pukul 19.39.03 (atau mungkin lebih kecil dari itu), kita menjadi sebuah gambar yang unik. Ketika jarum jam yang panjang bergerak satu langkah ke depan, dunia sudah memotret sebuah gambar yang lain. Gambar-gambar sudah semuanya tercipta dengan sempurna. Kita semua bergerak beriringan pada jaman yang berbeda. Di masa lalu, ada aku yang masih terjatuh ketika belajar naik sepeda. Di masa sekarang ada aku yang sedang mengetik tuts-tuts di depan sebuah layar kecil. Di masa depan ada aku yang mungkin sedang duduk santai menikmati uang yang sudah susah payah kudapatkan.

Mungkin aku satu dari sedikit orang yang masih percaya. Sebuah prinsip dasar untuk sebuah sakratul perjalanan waktu yang entah kapan akan berhenti menjadi misteri. Aku bukan bagian yang tertarik untuk ikut terjebak dalam penelitian, tetapi aku orang yang gemar menikmati kepercayaan semu itu.

"Ayo cepat siap-siapnya! Taksinya sudah datang, kita harus segera ke bandara sekarang!" kataku kepada anak-anak yang masih sibuk dengan tas backpackingnya.

Mereka berdua lalu segera asal memasukkan semua barangnya ke dalam tas, dan segera menutupnya dalam keadaan yang masih agak berantakan.

Kali ini libur anak sekolah agak panjang, sekitar dua bulan. Untuk pertama kalinya, kami tidak menuju ke gunung ataupun membuat tenda di hutan. Kami justru ingin menghabiskan waktu berkelana ke negeri yang kami belum pernah jajaki sebelumnya, dengan cara kami sendiri. Dengan hanya berbekal beberapa lembar pakaian dan celana saja, dan uang seadanya, kami akan menghabiskan waktu sekitar dua minggu di sana.

Kami semua harus duduk di dalam sebuah burung besi selama belasan jam. Untungnya, usia Aldi masih sembilan tahun. Ia masih dalam batas umur untuk ditawarkan sebuah mainan oleh seorang pramugari yang mondar-mandir di dekat kursi kami. Ajaibnya, mainan itu bagaikan sebuah alat guna-guna, yang mampu membungkam mulut Aldi, setidaknya selama ¾ perjalanan.

Sara? Adik Aldi? Tentu saja ia sedikit rewel, karena ini baru pertama kalinya ia naik pesawat. Tetapi beberapa lama berada di atas udara, ia pun akhirnya tertidur pulas di balik penutup mata dan penutup telinga Doraemonnya.

Delapan belas jam sudah berlalu sejak kami menempelkan pantat kami pada sebuah kursi pesawat. Perjalanan panjang, dengan waktu yang abstrak. Kami melewati tujuh zona waktu. Entah pukul berapa matahari terbit, entah pukul berapa matahari terbenam, hanya Sang Penguasa Bumi yang tahu.

Akhirnya, burung besi itu menurunkan roda-rodanya tepat pada saat kami kehabisan kegiatan. Ia mendarat dengan mulusnya pada sebuah tanah datar yang menjadi tempatnya beristirahat. 'London Heathrow Airport' begitu yang pertama kali terbaca.

Anak-anak terbangun, aku terbangun, dan suamiku pun terbangun dari tidur yang entah lelap entah tidak. Tetapi yang jelas, badan kami cukup pegal-pegal dan kaku-kaku.

Terbiasa berada pada lingkungan yang panas hujan panas hujan sepanjang tahun, musim dingin menjadi seperti alien, sesuatu yang asing bagi kami. Terbiasa hanya mengenakan celana pendek dan sendal jepit, tubuh kami kali ini harus dilindungi berlapis-lapis pakaian dan beralaskan sepatu.

Untungnya, kami cepat menemukan sebuah taksi hitam kebanggaan Inggris yang sedang mengetem santai di depan bandara.

"Hi Sir, we would like to go to this hotel," kataku sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan nama hotel beserta alamatnya.

"Yes, madam," jawab supir taksi tersebut.

Berbagai perasaan campur aduk sedang berperang di dalam otakku, dan mungkin otak keluargaku yang lain. Namun semua perasaan itu didominasi rasa kantuk yang seharusnya sudah menjadi waktu tidur kami di Jakarta, sebuah kota metropolitan.

Time FrameWhere stories live. Discover now