1

22 5 0
                                    

Malam ini tidak seperti biasanya, bintang-bintang memenuhi langit.

Mungkin langit mengerti diriku. Saat perasaanku sedang tidak baik, maka langit tidak memperlihatkan bintang-bintangnya padaku. Seperti ikut berduka.

Dan sekarang, ketika perasaanku sedikit membaik, langit mempersembahkan ribuan bintang untukku. Seperti ikut bersukacita.

Tapi ternyata itu tak cukup untuk membuat perasaanku jauh lebih baik lagi. Nyatanya aku tetap menghela napas dan mulai bertanya-tanya.

Sampai kapan hidup ini terasa kejam bagiku?

***















Titik air jatuh dari langit pada hari dikebumikannya 'ibu' ku. Beruntung hanya titik-titik, tidak banyak. Tapi cukup untuk mengatakan bahwa langit ikut bersedih atas kepergiannya.

"Hana, kau tahu tidak? Mungkin kalau kau tidak ada, eomma tidak akan pergi secepat ini." Gumam adikku, Yujin.

Aku menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu berkata begitu? Dan kenapa kau tidak memanggilku 'eonni'?" Yujin tampak kaget atas jawabanku, seakan-akan ia tidak bergumam untuk didengar. Tapi ia cepat-cepat berkata,

"Sudah, lupakan saja panggilan kehormatanmu itu!" Ia membuang muka.

"Tapi bukankah itu kewajiban seorang adik untuk memanggil kakak perempuannya dengan panggilan 'eonni'?" Tanyaku lagi, mendesak.

"Memang, tapi kau kan bukan kakakku!" Yujin berkata seperti itu tepat dia depan wajahku dan langsung membuang muka lagi.

Aku tercekat. "Ma-maksudmu?" Aku meminta penjelasan.

"Kau ini bodoh atau apa? Kalau kubilang kau bukan kakakku, lantas bagian mana lagi yang tidak kau mengerti??" Jawabnya sinis.

"Maksudmu... Aku bukan anak kandung eomma?" Tanyaku dengan suara bergetar. Hanya itu satu-satunya kesimpulan yang bisa kutangkap.

"Kalau sudah tahu tidak usah bertanya," Ucapnya, masih dengan nada sinis.

Kumohon, jangan lagi... Sudah cukup kenyataan pahit yang kuterima tentang meninggalnya eomma yang tidak ku ketahui apa sebabnya. Yang kutahu dari Yujin hanya bahwa eomma sakit.

Tapi aku bahkan tidak tahu eomma punya penyakit parah. Memang sih, beberapa bulan terakhir ini kulalui di luar kota untuk kuliah, tapi... Kenapa tidak ada seorang pun yang memberitahuku tentang penyakit eomma?

Sudahlah. Pilihan kesimpulan atas kenyataan tadi cuma dua. Antara eomma tidak ingin merepotkanku, atau... Eomma tidak menganggapku sebagai anaknya.

Aku belum- dan kuharap tidak- punya bukti atas kata-kata Yujin barusan, jadi anggap saja kesimpulan pertama yang benar.

Aku masih tak percaya. Hari ini aku mendapat dua kabar buruk. Benar-benar buruk.

***

Pulang dari pemakaman, aku langsung masuk ke kamar eomma untuk mencari bukti kalau aku bukan anak angkat. Ya, aku masih tidak percaya dengan kata-kata Yujin tentang aku yang anak angkat.

Memangnya siapa juga yang mau percaya kalau kenyataannya selama ini eomma selalu bersikap baik padaku?

Aku mencari dengan kalap, seperti dikejar setan. Di pemakaman bisa saja aku terlihat tenang, tapi tidak dengan di rumah.

Saat aku sedang sibuk membongkar apapun yang ada di kamar itu, sebuah suara sinis yang sangat kukenal berkata kasar,

"Kau tidak percaya kata-kataku, ya? Baca ini!!" Yujin melempar sebuah buku seukuran genggaman tangan yang terkena telak ke kepalaku.

First and Last [HIATUS]Where stories live. Discover now