4

113 21 1
                                    

Aku memang seorang pembunuh, pendosa, pecundang, dan segala hal buruk yang mengikutiku. Bagaimana bisa, seorang sahabat merengut nyawa sahabatnya? Bisa, itu yang kulakukan. Demi tuhan, tak ada niat sekalipun aku menyakitinya, apalagi untuk membunuhnya. Segila apa aku membunuh sahabat yang sudah menemaniku lebih dari separuh umurku? Rekan sejoli adalah sebutan kami, ada Donghyuck ada Mark. Tak ada yang sanggup memisahkan kami.

Tidak untuk hari itu, pertengkaran kecil. Perkara yang sepele, sangat. Kami menyukai gadis yang sama, sepantaran denganku namun lebih tua dibanding dengan Donghyuck. Hari itu entah mengapa aku seperti bukan diriku, aku sangat kesal saat Donghyuck menyatakan bahwa ia juga menyukai gadis yang sama, padahal dia sudah mau mengalah denganku, tapi justru aku mendiamkannya.

Seminggu bagai setahun untukku. Dan sejak saat itu juga, ia jarang masuk untuk sekadar latihan. Aku merasa bersalah, jadi kuputuskan untuk meminta maaf padanya esok hari.

Dewi Fortuna seperti memihak padaku, keesokan harinya aku berkesempatan melihat Donghyuck yang berada di seberang dari tempatku berdiri. Senyumnya itu seperti cahaya pagi hari, dan tawanya semacam obat untukku. Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat, langkah pasti kuambil untuk menuju ke tempatnya, namun suara nyaring memekakan telinga pun terdengar dari samping disaat bersamaan dengan Donghyuck juga melihat ke arahku. Reflek tanganku terulur untuk menggapainya.

























BRAK!






















Alih-alih menyelamatkannya, tubuhku ikut terpental tak jauh dari tempat kejadian. Jatuh tersungkur. Kejadian itu begitu cepat, yang terakhir kulihat adalah tubuh Donghyuck terdorong cukup jauh hingga tubuhnya terantuk ke dinding sebuah bangunan. Setelahnya, kesadaranku pun diambil alih.

Aku bangun dengan kepalaku yang terasa sangat berat dan pening. Aku melihat ibukku tengah menatap kosong, duduk sambil mengusap perlahan rambutku.

"Mom?" kupanggil ibu dengan suara lemahku. Sialan, aku sangat tidak suka diriku yang lemah seperti ini. Ibu langsung tersadar, dengan kedua manik yang berkaca-kaca ibu tersenyum ke arahku.

"Syukurlah, sayang. Tuhan masih memberi kesempatan bagi ibu untuk memilikimu lebih lama," ibu lalu mengecup lembut keningku. Aku mengerti perasaan ibu, ia pasti sangat berat jika saja tuhan mengambilku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang ia punya, pun harta berharganya.

"Mom, Donghyuck. Bagaimana dengan Donghyuck? Apa dia baik-baik saja? Mom, aku benar-benar harus melihatnya," seperti tersengat listrik, ingatan saat tubuh Donghyuck terdorong oleh truk sialan itu kembali. Kekhawatiranku semakin meninggi saat ibu hanya terdiam.

"Mark, tenanglah dulu. Kau baru saja sadar, Sayang," aku termasuk lelaki yang keras kepala, jadi apa yang ibu katakan barusan tidak berpengaruh apapun padaku.

Mirage✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang