"Aku tidak pernah melewatkannya, Mom. Hanya saja, akhir-akhir ini aku susah bangun pagi, maaf," mendengar penuturanku, wanita yang kupanggil Mom tersebut terkekeh, ia melirik pemuda yang masih ku genggam erat tangan lemahnya. Wanita itu kembali melihatku selagi berujar,
"Makanlah yang banyak, kau sudah sangat berubah. Cukup putraku, kau jangan. Kau mengerti, sayang?" Ia kembali mengelusku, elusan seorang ibu memang beda, selagi kristal bening itu terus meluncur dari wadahnya.
"Sudah kucoba sebisaku, Mom. Sungguh aku tidak berselera, tapi sekarang ibu sering memaksaku sarapan sebelum pergi, jadi kurasa tak perlu waktu lama badan ini terisi lagi," wanita itu tertawa pelan seraya merengkuhku dalam pelukannya, menepuk punggungku selayaknya menguatkan diriku. Kubalas dengan anggukan pelan dan beberapa detik selanjutnya pelukan kami melonggar, kemudian terlepas.
Setelah temuku dengan Mom, dan saling menguatkan, aku pamit untuk berangkat bekerja, banyak hal yang harus kukerjakan di studio. Salah satu alasanku juga untuk mengalihkan fokusku padanya. Dokter yang menyarankan. Bukankah pasien harus menurut? Walau saat awal terlampau sulit, namun aku sangat bersyukur. Banyak yang membantuku untuk melewati masa terpurukku.
—————————
Aku memilih menaiki angkutan umum untuk menuju studio yang letaknya lumayan jauh, dan tidak kusangka bus yang kutumpangi melewati jalanan yang selalu kuhindari sejak dua tahun lalu.Seketika potongan memori itu kembali lagi yang membuat otakku sakit bukan main, dengan dengungan kuat yang kudengar juga rematan yang terasa pada kepalaku. Aku meremas jeans yang kupakai selagi tanganku yang lain berpegang pada bangku penumpang di depanku, badanku banjir peluh, pandanganku mengabur. Bagai berlayar di laut lepas, tubuhku terasa terombang-ambing. Kugigit dengan kuat bibir bawahku agar tidak pingsan di dalam bus yang tengah ramai penumpang.
Dan saat bus berhenti di depan halte, aku segera turun tanpa pikir panjang tanpa pedulikan protesan orang lain.
Studio ada beberapa langkah lagi, memang dekat dengan halte yang kutumpangi, namun sungguh ini begitu berat. Napasku tak teratur, aku sadar sedang berjalan sempoyongan layaknya pemabuk disiang bolong, tapi aku tidak peduli, aku memasuki studio tanpa menyapa orang-orang di dalam. Ruangan di ujung adalah tujuan akhirku, aku membuka pintu dengan sisa tenaga yang kupunya, dan pemandangan terakhir yang kutangkap adalah kelima pemuda di dalam ruangan yang memusatkan pandangan mereka padaku,
"To–" selanjutnya kegelapan kembali mengambil alihku dengan suara teriakan memanggil namaku yang semakin samar.
—————————
Hal pertama yang kurasakan adalah tepukan pada pipi cekungku yang diiringi suara berat seorang lelaki yang kukenali, sinar lampu langsung menyorot kedua mataku saat terbuka dan suara orang-orang yang mendesah lega selagi berucap syukur,"Lihat si tuan muda ini, baru saja sampai sudah kembali tidur.”
"Memang 'anak kasur' ckckck.”
"Hahaha sudah sudah, lihat! Hyuck kebingungan dengan kalian.”
Aku memerhatikan mereka, teman-teman bandku, juga rekan lamaku. Aku dibantu untuk duduk dan bersandar pada dinding oleh mereka. Menghangat.
"Jika menyumpal mulut kalian dengan kaos kakiku itu bukan dosa, sudah kulakukan sejak tadi," kupandangi mereka yang tergelak dengan kata-kataku. Sudah biasa dengan cara bicaraku yang sedikit kasar.
"Jika sudah terjaga, lekas ke pos mu, Hyuck. Penggemarmu sudah menantikan konser kalian sejak tiga abad yang lalu," pria —berumur empat tahun lebih tua dibanding diriku— dengan setelan santainya mengusak rambutku. Setelahnya pria yang akrab aku dan para rekan bandku panggil Johnny itu segera meninggalkan studio kami.
"Kali ini apa, Hyuck? Seminggu yang lalu kau juga seperti ini, apa ini akan muncul setiap minggu?" aku mendengar pertanyaan itu, namun tak berkeinginan untuk menjawabnya. Mereka pun tidak begitu menganggap serius pertanyaan salah satu rekanku. Sudah biasa.
Note: ff kali ini bakal singkat banget. Cuma sampai 6 chapter, jadi waktu publishnya pun cuma seminggu. Selamat menikmati....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirage✅
Fiksi PenggemarMirage, khayalan atau ilusi adalah hal yang ia ciptakan berdasar pada penyesalan, duka yang mendalam juga kerusakan yang ia terima. Mirage itulah yang melekat pada diri Mark. -Skizofrenia menelanmu, Mark." "Apa dengan aku sembuh dapat melihat nisann...