Suasana kantor menjelang malam hari tampak lebih sepi daripada sebelumnya. Hanya tersisa Doppo dan beberapa koleganya. Mereka pun sudah bersiap-siap untuk pulang. Ditengah suara ketikan jarinya yang ribut, terdengar suara getaran yang tak terlalu besar, namun tetap disadari olehnya. Melihat namamu terpampang di layar, jemari kurusnya dengan segera menekan tombol hijau di sebelah kanan.
"Ah, sore, Doppo. Maaf mengganggumu," jantung Doppo serasa hendak keluar dari rusuknya begitu mendengar suaramu, "aku akan mampir ke supermarket dekat kantormu, apa kau mau dibelikan sesuatu?" Lelaki berambut merah itu berdebat dengan dirinya sendiri selama beberapa saat, namun ia akhirnya menyerah.
"Ah... tidak usah,"
"Baiklah kalau-" Kau berniat menutup telepon sebelum lelaki itu buru-buru memotong ucapanmu.
"A-apa kau bisa menungguku? Aku akan selesai satu jam lagi."
"Kau yakin? Memang tidak ada jadwal lembur hari ini?" Kau bertanya jahil, tahu betul akan bosnya yang menyebalkan.
"I-itu..."Doppo dengan cepat melirik ke arah tumpukan dokumen yang harus ia selesaikan hari ini. Ia menghela napas lega begitu melihat lembaran kertas tersebut hanya tersisa sedikit lagi. "Akan kuusahakan hari ini aku tidak perlu pulang terlalu malam. Aku janji."
"Baiklah," Doppo tidak bisa melihatmu, tetapi ia yakin kau sedang tersenyum sekarang,"aku akan menunggu di kedai kopi di sebelah kantormu. Hubungi aku kalau kau sudah mau selesai."
Maka setelah itu, seolah dipecut, Doppo dengan cepat tenggelam dalam pekerjaannya. Fokusnya memikirkan dirimu membuat semangatnya mengebu-ngebu sampai-sampai si bos botak itu heran sekaligus takut melihat kecepatan mengetiknya.
"Ka-Kannonzaka???"
"I-iya?" Berkat suara lelaki tersebut, Doppo tersadar dari semburat adrenalin yang sedari tadi menjaganya tetap terpaku pada monitor. "a-ada apa, bos?"
"Ti-tidak. Aku hanya melihat hari ini pekerjaanmu cepat sekali selesai. Sebaiknya kau pulang cepat hari ini."
Doppo melirik ke arah jam dinding di ujung ruangan yang menunjukkan pukul enam sore. Seolah berada dalam dukungan penuh semesta, Doppo tersenyum cerah
"Terima kasih!"
Lonceng pada pintu kafe berbunyi nyaring begitu Doppo masuk. Mata toskanya memandang ke penjuru ruangan hingga menemukan sosokmu. Dibalik balutan kardigan krem, ia masih bisa melihat seragam serba putih milikmu yang berantakan setelah melewati satu hari penuh. Kontras dengan senyumanmu tampak tidak ada lelahnya sama sekali.
"Aaa... Sore, Doppo!" Sambutmu ceria. Tanganmu hendak bergerak mengusap puncak kepalanya, namun niatan tersebut kau urungkan mengingat kalian sedang berada di ruang publik.
"Iya... Ah, maafkan aku. Kau pasti sudah menunggu lama." Doppo membungkuk sedikit. Jarinya bergerak melonggarkan lilitan dasi yang terasa menyesakkan sambil menduduki sofa di seberangmu.
"Hmph... Tentu saja," Kau mengangkat dagumu tinggi-tinggi bersamaan dengan garpu yang kau pakai tadi, "Ini sudah shortcake keduaku."
"Ma-maaf..." Gagap kata-katanya melihat kelakuanmu. Namun, matanya menangkap noda krim di sudut bibirmu dan jemarinya bergerak menyeka noda tersebut.
"Pantas saja..." Dengan satu usapan jempolnya yang dengan sengaja menyentuh bibirmu dengan lembut, ia membersihkan noda tersebut. Krim yang kini menempel pada jari itu pun ia jilat dengan acuh, "manis."
Entah itu komentarnya terhadap krim kue tersebut atau kepada ekspresi wajahmu yang sewarna buah stroberi. Berkat tangannya yang secara strategis mendarat di sisi pipimu, kau kehilangan momentum menghindar dari tatapannya yang diikuti senyuman kecil dari lelaki tersebut.
"Uhm... Ayo kita segera pergi. Aku sudah membayar pesananku tadi."
****
"Jadi, untuk apa kita ke sini?" Doppo nyaris tidak ada tenaga ketika mendorong troli. Langkahnya yang berat kerap diiringi langkahmu yang butuh usaha dua kali lipat untuk menyusulnya.
"Kau lupa, ya?" kau menghela napas pendek sambil menyodorkan ponselmu, terpampang jelas tanggal hari ini disusul dengan daftar belanja nan panjang, "hari ini waktunya belanja bulanan."
"Lagipula besok hari Sabtu," lanjutmu sambil memasukkan ponsel ke dalam saku. "aku ingin memasak sesuatu yang spesial untukmu."
"Oh..."Lelaki itu terpaku sesaat, mencoba mengingat masakan restoran baru yang beberapa saat lalu ditunjukkan oleh koleganya. Seolah ada bola lampu yang melejit dari pikirannya, ia menyahut, "aku ingin mencoba Hayashi rice."
Kau tertegun untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengetikkan sesuatu pada ponselmu. Setelah menemukan yang kau cari, kau pun mengangguk setuju.
"Boleh saja," wajah Doppo makin cerah mendengar jawabanmu"kurasa itu tidak terlalu sulit untuk dicoba."
"Mhmm. Bagaimana kalau Hifumi mampir-" Jarimu melesat menutupi bibir lelaki itu sampai ucapannya terpotong.
"Maaf," suaramu yang setengah berbisik nyaris tidak terdengar, tertutup keramaian pengunjung supermarket, "kali ini aku hanya ingin kita berdua saja."
Matamu beralih ke sisi lain rak bahan makanan, tetapi rona merah dan gestur tanganmu yang mencoba meraih tengkuk tak terlewatkan oleh Doppo.
"O-oh.."Doppo baru akan protes kalau saja ia tidak melihat ekspresimu.
"Aku mengerti"
Belanja menjadi lebih cepat ketika Doppo ikut denganmu. Setelah berbagi tugas, kalian segera berpencar menuju rak barang yang dituju dan kembali ke satu titik temu. Kau yang kembali lebih dulu kemudian memperhatikan barang yang tadi kau minta padanya.
"Oh, jangan ambil jamur kalengan yang itu," kau berlari kecil menyusul Doppo yang berdiri di depan rak makanan kalengan dan menyambar kaleng lain yang tersusun di sisi lain. "yang ini isinya lebih banyak."
"Memang kau pernah menghitungnya?" Doppo mengambil kaleng tersebut dari tanganmu, memicingkan mata begitu melihat komposisinya.
"Dari beratnya saja aku sudah tahu."
"Kau memang teliti," komentar Doppo yang kini tengah mengembalikan kaleng yang satunya. "istri yang teladan."
"Aku tahu." Tanganmu terkepal dan mendaratkan tinju yang pelan ke arah bahunya yang lebar. Pandanganmu tetap menunduk seiring dengan langkahmu yang menjauh.
Jadi, dengan terburu-buru suamimu itu menyusul. "Ma-maaf"
"Bodoh."
Kau terus berjalan dengan Doppo yang gugup mendorong troli di belakangmu hingga kalian sampai di kasir. Bibi yang berjaga di situ pun menyambut kalian berdua.
"Ya ampun, pengantin baru?" sapa wanita sebaya ibumu itu dengan ramah, "Kalian terlihat mesra sekali." Tangan keriputnya dengan cekatan mengambil barang-barang untuk dipindai mesinnya.
"Tidak, tidak. Kami ini pengantin lama," matamu berkilat seperti anak kecil di hari ulang tahunnya. "periode bulan madu kami sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat."
Ekor matamu tanpa sengaja mengintip wajah Doppo yang tengah berdiri di sampingmu. Susah membedakan wajah dan rambutnya yang kini sewarna, ditambah lagi sepertinya suhu badannya meningkat, persis orang demam.
"Ah... menyenangkan sekali," bibi itu berkomentar sebelum akhirnya menyerahkan dua kantong belanja padamu. "Ini belanjaan kalian. Hati-hati di jalan."
"Terima kasih!"
Langit malam menyambut kalian dari balik pintu otomatis dan Doppo masih enggan menatap wajahmu ketika kalian berjalan keluar. Tangan kanannya memegangi salah satu kantong belanja, sementara tangan satunya menutupi setengah wajahnya yang masih memerah.
"Kau tidak perlu bilang begitu..." Bisik Doppo di tengah jalan."Oh?" alismu terangkat dengan senyuman tipis menghiasi fiturmu, tubuhmu setengah condong ke arahnya "tapi kau senang-senang saja mendengarnya."
"Iya kan?"
Begitu Doppo hanya merespon dengan gelengan pelan dan muka yang masih memerah, saat itulah senyumanmu melebar. Tanganmu meraih lengannya hingga melingkar dengan nyaman.
"Iya, kan, S.a.y.a.n.g?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Doppo (Doppo X Reader) [On Hold]
FanfictionKalau pernikahanmu adalah sebuah mimpi, bisa jadi kau meminta untuk tidak pernah bangun sama sekali. Lelaki yang bersumpah setia kepadamu pun juga begitu. Jadi, duduklah sejenak, biarkan tingkahnya yang malu-malu namun tulus berbicara tentang betapa...