"LILLAHITA'ALA"
Benar, aku temui saja, biar dia tidak lagi menggangguku, kataku dalam hati, sambil beranjak kekamar mandi.
"Aku pakai kaos abu-abu, celana panjang olahraga warna hitam ya."
Kata-kata kak Syahrul terdengar senang.
"Ya."
Jawabku pendek sambil menutup telpon.
Aku berjalan dengan hati kesal teringat beberapa bulan terakhir ini hari-hariku terganggu dengan munculnya telpon-telpon dari kak Syahrul yang awalnya aku terima tanpa berpikir macam-macam, aku pikir hanya orang iseng yang akan berhenti setelah dua tiga kali telpon, tapi ternyata meskipun aku sudah tidak lagi mau terima telponnya masih saja dia bersikeras bicara denganku.
Aku duduk ditangga lapangan Gasibu dan menebar pandanganku melihat sekeliling mencari sosok orang berkaos abu-abu dan bercelana hitam, ketemu, dia sedang jogging mengelilingi lapangan, sampai didepanku aku perhatikan wajahnya, khas orang Sumatra, wajah keras, rahang, tulang pipi dan alis menonjol, dengan kulit berminyak berlubang bekas jerawat batu ish tiba-tiba aku muak.
Aku bangun dari duduk memutar balik badan dan melangkah pulang, seperti bayanganku dari pertama, masa bodoh dengannya, yang pasti aku tidak mau lagi terganggu olehnya.
"Sudah pulang? Ganti baju terus makan siang."
Kata Mami saat membukakan pintu untukku.
"Iya mi..." Jawabku.
Aku dengar bell pintu berbunyi, Mami membuka pintu dan entahlah aku tak mau tau siapa tamu Mami dan pintu kamarku diketuk, suara Mami memanggilku.
"Iya Mi ... "
Jawabku sambil membuka pintu kamar.
"Ada tamu untukmu ... "
Kata Mami sambil tersenyum.
"Siapa Mi?" Jawabku.
Biasanya kalau kawan kuliah Mami akan langsung menyuruh mereka kekamarku, Mami hanya tersenyum.
"Diruang tamu."
Jawab Mami, aku penasaran, dan segera beranjak ke ruang tamu, ada dua orang lelaki memakai seragam hijau duduk tegak dikursi tamu, aku mengenali salah satu dari mereka yang berwajah kaku, itu Syahrul."Nina ... ?"
Syahrul berdiri melihatku diam berdiri dipintu tengah ruangan.
"Ya." Jawabku pendek.
"Syahrul ... "
Katanya sambil mengangkat tangannya mengajakku berjabat tangan.
"Ya."
Jawabku lagi tanpa menerima jabat tangannya, senyum syahrul hilang dari wajahnya.
"Nina, apa yang membuatmu membenciku sampai berjabat tangan denganku pun kamu tidak mau ... "
Tanyanya dengan suara penuh kecewa. Aku diam.
"Minggu kemarin kali keempat kamu tidak datang." Katanya lagi.
"Aku datang, aku melihatmu dan aku pulang." Jawabku.
"O ya ... ?"
Kata Syahrul tak percaya dengan wajah senang, aku mengangguk.
"Terus gimana? Apa yang kurang dimatamu? Aku tampan, putih, tinggi, aku bekerja, apa lagi kurangku?" Tanya Syahrul.
"Apa suka itu dilihat dari tampan? Dari badan? Dari pekerjaan?" Jawabku.