Bernapas, semua manusia butuh bernpas untuk bertahan hidup.
....
Bel pulang sudah berbunyi sejak pukul 15.30. Artinya sudah hampir 15 menit sekolah dibubarkan. Namun kantin pada rabu sore dibanjiri anak-anak eskul musik, fotografi, dan karate. Layaknya istirahat siang, sore ini mereka juga berebut makanan. Menyambung perut mereka yang kelaparan sebelum beraktifitas kembali.
Keramaian itu tidak menginterupsi Fajar dari tawa perempuan yang duduk di seberang meja, bersama seorang laki-laki.
Tawa itu selalu mengingatkannya kepada seseorang yang saat ini sedang berada di rumah. Ia bahkan heran mengapa Tuhan memberikan semua fisik mama kepada Haza, hingga ia tak diberi sisa. Semua yang ada pada diri Haza adalah mami, berbeda dengannya yang tak tahu jelas mirip siapa. Mirip mami, bukan. Mirip papi juga tak yakin.
Sampai-sampai dulu waktu SD, Fajar lebih memilih bersembunyi di balik tubuh papi ketika disuruh salim kepada teman papi saat diajak datang ke sebuah acara. Semua orang akan menatapnya tak percaya jika dia anak orang tuanya, Fajar yang saat itu sudah mengerti apa itu istilah 'anak kandung' jadi insecure untuk menampakkan diri.
"Nanti ada teman papi atau mami nggak?" Fajar bergelendotan di tangan sang ayah, digandeng masuk ke dalam sebuah gedung yang megah. Haza ada di dalam gendongan papi, sedangkan mami menggandeng satu tangan Fajar yang lain. Definisi keluarga yang sempurna di mata setiap orang. Tanpa celah, hanya ada kehangatan.
"Ada, nanti kakak salim ya, kan anak baik." Jawab papi meski dia sedikit repot dengan kedua anaknya.
"Tapi Fajar gak mau kalau teman papi bilang aneh-aneh."
Langkah dua orang dewasa di kanan kirinya terhenti. Mami tiba-tiba berjongkok di hadapan Fajar sambil tersenyum penuh arti. "Gak ada yang bilang aneh, sayang. Fajar kan gak lahir di Indonesia. Jadi, wajar mereka gak tahu, kalau Fajar anak mami dan papi. Beda sama Haza yang lahir di Jakarta. Fajar nanti salim, ya?" Mami mengusap pipi Fajar, lalu menciumnya sampai menimbulkan bekas lipstik merah di pipi. Perempuan itu tertawa sebelum kembali mengusap pipi Fajar untuk membersihkannya.
Tawa itu terasa menenangkan di hati Fajar. Tawa itu seolah memberinya sebuah janji bahwa semua akan baik-baik saja, tak ada yang perlu di khawatirkan. Tawa ia terpatri di hati. Menjadi sebuah tawa favorit setiap pulang.
Sampai beranjak besar ia sadar akan sebuah tawa yang sama indahnya. Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan manusia mungil yang ia panggil Haza. Tanpa ada yang meminta, dia berjanji untuk menjaga tawa itu agar tak pernah mati. Haza beruntung punya Fajar, walaupun sisi protektif Fajar terkadang merepotkan. Melarangnya dekat dengan laki-laki yang tidak Fajar suka, memarahinya kalau main sampai malam, dan selalu memastikan dengan siapa Haza pulang. Sayangnya, sikap Fajar sangat didukung oleh papi. Sejak SMP mereka dimasukkan ke sekolah yang sama, supaya Fajar menjaga Haza. Supaya adil, Haza jadi mata-mata mami kalau sewaktu-waktu Fajar bandel.