PROLOG

81 2 0
                                    

.

.

Satriaska Argatama Atmadja.

Sekilas tidak ada yang salah dengan nama itu, nama seorang anak laki-laki, nama yang menggambarkan sosok gagah dan ksatria. Nama yang mungkin menjadi harapan besar bagi orang tuanya.

Tapi tidak dengan pemilik nama itu, Arga memang gagah, sama seperti ayahnya. Tapi ia merasa terbebani dengan nama itu. Nama yang menuntut banyak hal darinya. Ia tak suka dengan embel-embel 'aska' pada nama depannya. Karena dari kata itulah segala impiannya terenggut paksa.

"Aska, tentara bangsa"

Itulah yang kerap kali bapaknya ucapkan. Membuat telinganya panas dan punggungnya serasa tertimpa beban berat. Beban dari sang bapak yang menuntutnya menjadi seorang tentara, padahal sama sekali Arga tidak memimpikan itu. Impiannya adalah menjadi seorang musisi besar dengan berbagai karya yang dapat dinikmati oleh semua orang. Tapi lagi-lagi ia harus mengubur dalam impiannya beserta harapan-harapan yang sering ia panjatkan dalam do'a.

Sebuah harapan sederhana agar sang bapak mau mendengarkan karya yang kerap ia ciptakan kala matanya tak kunjung menutup ditengah malam.

"Seorang tentara harus memiliki anak tentara, itu prinsip bapak"

Kalimat itu juga sudah sangat muak ia dengar. Entah sudah berapa ribu kali bapaknya mengucapkannya. Diantoro Atmadja, seorang jendral purnawirawan TNI AU adalah sosok tegas dibalik kekeras kepalaan Arga. Bapak sekaligus guru bagi Arga. Guru yang sebenarnya tidak pernah diharapkan Arga.

Arga risih dengan kehidupannya saat ini. Ia memiliki dua adik, sama laki-laki seperti dirinya. Tapi hanya ia yang dikekang dan harus mengikuti segala peraturan yang bapaknya berikan.

Adik pertamanya, Mahesa Dwi Atmadja, tumbuh bahagia bersama passionnya didunia hiburan, dengan sedikit tingkah nyeleneh yang masih dalam batas wajar. Lalu adik keduanya, Yudhistira Cakra Atmadja, juga sangat menikmati bakatnya dibidang arsitektur. Mereka bebas tertawa lepas bersama teman-temannya, tidak seperti dirinya yang lingkup pergaulannya bahkan sangat diabatasi hanya dengan anak-anak kalem dan ambis.

Anak pertama, katanya.

Arga tersenyum miring, sejak kapan hukum itu masih berlaku, ia dan adik pertamanya hanya terpaut satu tahun, sama-sama laki-laki pula, mengapa tidak semuanya saja dijadikan tentara? Pikirnya. Mengapa hanya ia seorang diri yang harus menanggung keinginan ayahnya? Tidak sadarkah Arga juga memiliki impian?

Tetapi takdir adalah takdir. Arga tidak bisa merubah takdirnya sebagai anak pertama, anak kebanggaan sang bapak sekaligus harapan terbesarnya.

Dialah, Argatama beserta kisah penuh likunya.

.

.

The Air Force[d]Where stories live. Discover now