Tertabrak

14 4 0
                                    

Sinar mentari masuk begitu saja saat aku membuka jendela kamarku. Mataku terpejam saat silau matahari mengenai wajahku. Bukan hanya sinar matahari yang menyapa, tapi angin sejuk pagi hari juga menyambutku. Aku tersenyum saat merasakan angin mengenai wajahku. Tidak lupa, mataku terpejam akibat sinar matahari yang masih begitu silau untuk diterima mataku.

Triring triring ....

Dering ponsel di mejaku membuyarkan semua kesenangan sesaatku. Aku pun melihat siapa yang meneleponku pagi-pagi. Begitu melihat nama Ariel tertampang di layar ponselku, aku menggerlingkan mata dan menghembuskan napas berat.

"Ada ap-" tanyaku yang dipotong seenaknya oleh Ariel.

"Li! Lo gila, ya?! Lo di mana sekarang?!" dasar Ariel. Sudah menyela omongan orang, juga langsung marah-marah tanpa alasan pagi-pagi begini.

"Kenapa sih, Riel? Masih pagi udah ngomel-ngomel aja!" balasku dengan meninggikan nada bicara.

"Pagi?! Lo gila?! Liat sekarang jam berapa!" ucapnya, masih dengan nada tinggi yang membuatku menjauhkan ponsel dari telingaku. Aku tidak mau tuli di usia muda hanya karena diteriaki Ariel.

"Sekarang? Sekarang jam sep-" jawabku terhenti saat melihat jarum jam di kamarku.

"Sepuluh! Lo gila! Mau lo gak masuk kelas lagi kayak minggu lalu?! Sadar, Li! Lo tuh udah semester ak-" aku menutup telepon dan segera berlari menuju kamar mandi.

Gila, Lili Gila! Bisa-bisanya baru bangun jam segini! Rutukku sendiri.

Aku hanya membasuh wajah dan menyikat gigi, lalu segera kembali ke kamar dan berganti pakaian.

---

Sesampainya di kampus, aku segera mencari Ariel di kantin. Terlihat Ariel sedang berkumpul bersama beberapa adik tingkat cewek.

Saat melihatku, Ariel segera melambaikan tangannya. Aku pun menghampirinya dan adik-adik tingkat yang mengerubungi Ariel segera pergi.

"Loh, pada udahan?" tanyaku bingung saat melihat adik-adik tingkat yang pergi saat aku baru datang.

Bukannya menjawab, Ariel menatapku dengan wajah yang tidak bisa kuartikan. Alisnya bertaut, matanya menatapku tajam, dan dia berulang kali membuang napas kasar. Dia marah?

Kuberanikan bertanya, "Riel, lo ma-"

"Lo beneran gila, ya, Li! Jam segini baru dateng!" lagi-lagi Ariel memotong omonganku.

Aku hanya cemberut saat mendengar omelannya lagi.

Sepertinya Ariel merasa kasihan dan bersalah padaku, karena dia menawarkan untuk membelikanku sarapan. Tahu saja Ariel kalau aku belum sarapan.

Setelah memesan makanan, aku melihat sekeliling. Seperti biasa, kantin ramai. Beberapa mahasiswa sedang berkutat memandangi laptop dengan makanan yang belum tersentuh di sampingnya. Ada juga beberapa mahasiswa yang bercengkerama dan tertawa bersama teman-temannya. Pandanganku terhenti saat melihat seseorang yang kukenal.

"Kak Mei?" gumamku pada diri sendiri, tapi Ariel mendengarnya.

"Katanya nanti ada acara reuni alumni." jawab Ariel. Aku mengangguk mendengar jawabannya.

"Kalo ada Kak Mei, kemungkinan ada Kak Disa, dong? Cie, Ariel. Gebetannya dateng. Gimana, deg-degan gak?" tanyaku jahil.

Ariel memutar bola matanya malas. "Harusnya lo yang lebih deg-degan." Aku memandang Ariel dengan wajah bertanya. "Gue? Ken-"

"Kak Teddy dateng" aku terdiam. Bukan, bukan karena Ariel memotong omonganku tiga kali.

Ariel memandangku dengan tatapan kasihan. "Lo gak semestinya khawatir gue deg-degan atau gugup. Urus hati lo sendiri sono! Mau gimana lo sekarang? Kak Teddy, orang yang lo taksir selama tujuh tahun dan lo gak ketemu dia hampir setahun, hari ini mau dateng. Gimana? Seneng?" aku masih terdiam.

Makananku dan Ariel sudah sampai. Namun, aku masih terdiam.

"Udah, gak usah gugup atau gimana, lo nan-"

"Riel!" ucapku tiba-tiba seraya menggebrak meja. Ariel terkejut. Begitu pun para mahasiswa di kantin, mereka melihat ke arahku serempak dengan tatapan risih.

"Li, lo tuh mal-"

"Kalo move on gue gagal gimana, dong?!" ujarku dengan wajah memelas.

Ariel terlihat membuang napas kasar lagi. "Capek gue temenan sama lo. Udah, cepetan abisin makanan lo. Dikit lagi masuk kelas" ujar Ariel pasrah. Aku hanya menganggukkan kepala dan sesegera mungkin menghabiskan makananku agar Ariel tidak mengoceh lagi.

---

Kelas Pak Anton baru saja berakhir. Aku pun memasukkan buku catatanku ke dalam tas.

"Li, jangan lupa nanti kerkel." Ucap Tia saat ia berjalan melewatiku. Aku pun mengangguk dan tersenyum saat ia menoleh ke arahku sebelum keluar ruangan.

"Riel, lo duluan aja. Gue ma-"

"Iya. Lo gak usah khawatir sama gue. Gue tunggu di koridor deket pintu keluar jam 6. Telat atau gue tinggal." Ujar Ariel yang entah sudah berapa kali memotong ucapanku hari ini. Setelah mengatakan itu dia langsung mengambil tas nya dan berjalan keluar meninggalkanku.

Aku membuang napas pasrah. Tadinya, aku dan Ariel berencana untuk makan di salah satu restoran dekat kampus sebelum pulang. Namun, ternyata hari ini aku ada kerja kelompok.

Disaat aku berkutat dengan pikiranku, satu persatu siswa keluar dari ruangan. Kini, hanya aku sendiri yang ada di ruangan.

Kriitt

Suara berdecit pintu membuatku menoleh ke sumber suara. Aku menunggu siapapun yang ingin masuk. Namun, nihil. Pintu tersebut hanya terbuka, tapi tidak ada siapapun di sana.

Aku baru ingat! Ruangan ini adalah salah satu ruangan ang-

Tuk tuk tuk

Suara sepatu pantofel yang mendekat ke ruangan ini membuat bulu kudukku berdiri. Aku pun buru-buru memasukkan pensil dan pulpen ke dalam tempat pensilku –ah, bukan, lebih tepatnya ke tasku. Aku sudah tidak tahu bagaimana bentuk isi tasku. Semua barangku yang di meja aku taruh sembarang di tas.

Mungkin, hari ini aku sedang sial. Buktinya, salah satu pulpen kesayanganku bukannya masuk ke dalam tas, tapi menggelinding ke bawah meja.

Di saat aku masih dilema antara mengambil pulpen kesayanganku atau segera keluar, suara langkah tersebut makin mendekat.

Akhirnya, aku memilih untuk mengambil pulpen kesayanganku. Aku terlalu malas untuk membelinya lagi. Aku pun bersusah payah masuk ke bawah meja. Saat aku ingin keluar, aku mendengar suara langkah kaki –yang sepertinya sudah berada di samping mejaku, berhenti. Aku pun menarik napas. Aku mendengar suara langkah tersebut sudah keluar ruangan dan aku mengambil napas lega.

Aku segera mengeluarkan diri dari bawah meja. Sialnya, pulpen tersebut tergelincir dari genggamanku.

"shit!" umpatku.

Pulpen tersebut berhenti di samping meja besar di depan ruangan. Aku pun segera berlari dan mengambilnya. Lalu, aku berlari menuju pintu. Aku ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

Buk.

Tepat saat aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan, tubuhku menghantam dada seseorang. Terlalu kencang hingga aku hampir tersungkur ke belakang jika tidak ada pintu ruangan yang sedang terbuka.

"Eh, sorry." Terdengar suara bariton yang tak asing di telingaku sambil mengulurkan tangannya. Aku hanya terdiam memandangi tangannya yang terulur.

Betapa terkejutnya aku saat aku menyadari bahwa pria di hadapanku ini adalah Kak Teddy, orang yang kusuka sejak SMA.


TBC

Semoga suka! <3

Blind LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang