Juni 1993
Bada memasukkan beberapa helai baju ke dalam koper peninggalan bapaknya dengan malas. Ia tadi sudah memasukkan beberapa helai sarung, baju koko, juga peci yang akan sering ia pakai nantinya. Koper tua itu sudah bertahun-tahun teronggok di atas lemari kamar ibunya, tak terjamah dan tak sekalipun digunakan.
Baru Seminggu yang lalu Bada menerima Ijazah SMP-nya. Ia sudah berjanji dengan sahabat-sahabatnya yaitu Ivan dan Rano untuk melanjutkan di SMA yang sama, SMA Tunas Muda, SMA terbaik di kotanya. Namun dua hari yang lalu semua rencana itu buyar, Ibu Bada akan memasukkan Bada ke pesantren di kampung, sesuai pesan terakhir bapaknya. Bada menangis saat mendengar kabar itu, sekolah di pesantren tak pernah ada dalam daftar cita-citanya. Bada hanya bisa menangis karena ia tak akan pernah menolak permintaan ibunya.
Di depan pintu, seorang wanita paruh baya dengan kebaya biru muda berdiri sambil memegang mushaf Al Quran di tangan kanannya.
"Al Quraannya jangan lupa dibawa, kamu pasti akan membutuhkannya di sana" Kata Bu Ratna sambil menyerahkan mushaf itu ke tangan Bada.
"Mengapa aku harus sekolah di sana Buk?" pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Bada. Sejak dua hari yang lalu ia hanya menyimpannya.
"Itu sudah menjadi wasiat bapakmu Bada"
"Tapi Buk, seberapa pentingkah sehingga wasiat itu harus kita tunaikan?"
"Ibu juga tidak tahu Bada, Ibu tidak tahu". Bu Ratna memalingkan wajahnya, raut wajahnya tampak berubah. Ada beban berat yang tersembunyi dalam tatapan matanya. Ada airmata yang seperti mengendap bertahun-tahun di sana.
"Maafkan Bada Buk, Bada tidak bermaksud membuat Ibu menangis" Bada memeluk ibunya. Tak ada air mata di pipi Bu Ratna, sama sekali tidak ada. Tapi gelombang kesedihan itu terasa pekat memantul-mantul di dinding kamar membuat malam itu tak sama seperti biasanya.
Dari ruang tamu terdengar bunyi telepon berdering.
"Kamu segera rapikan semua ini, jangan sampai ada yang tertinggal. Perlengkapan mandi untuk bekalmu sudah ibu siapkan di kamar ibu. Kamu ambil sendiri ya". Bu Ratna menyeka matanya. Tidak ada air mata yang diseka, namun itu cukup untuk mengusir rasa gelisahnya.
Sebenarnya tak sekolah di Pesantren bukan sebuah masalah baginya, bapaknya dulu juga sekolah di pesantren yang sama. Usia Bada baru 16 tahun, tidak terlalu kecil memang, namun tidak berarti ia siap untuk tinggal jauh dari Ibunya. Semenjak bayi, bapak Bada telah tiada. Dalam ingatannya sama sekali tak ada ingatan tentang bapaknya. Dan kini, karena wasiat bapaknya ia harus meninggalkan ibunya seorang diri.
"Baik Yai. Iya. Sudah saya siapkan semuanya." Itu adalah potongan dialog Bu Ratna dengan seseorang di telepon yang Bada berhasil dengar. Bu Ratna tampak serius mencatat beberapa petunjuk dari orang tersebut. Bada tak terlalu peduli, ia masuk ke kamar ibunya untuk mengambil perlengkapan mandi yang sudah disiapkan sebelumnya.
Bu Ratna sudah menyelesaikan percakapan telepon ketika Bada kembali melalui ruang tengah. Cahaya lampu ruangan yang kuning terpantul oleh butir-butir keringat yang mengalir di dahinya.
"Kenapa bu? Ada masalah?" Tanya Bada penasaran.
"Tidak, tidak ada apa-apa" sahut Bu Ratna dengan sedikit gelagapan.
"Siapa tadi?"
"Oh Itu, Kyai Rahman. Kebetulan ia sedang di kota sebelah. Ia menanyakan soal keberangkatanmu"
"Ibu benar tidak bisa ikut mengantarkan aku?" Bada duduk di samping Ibunya. Ia sangat ingin agar ibunya bias mengantarkannya sampai ke Pesantren, bukan hanya sampai stasiun seperti yang direncanakan ibunya.
"Tidak bisa Bada. Ibu tidak bisa meninggalkan pekerjaan ibu. Pabrik sedang banyak pesanan, ibu harus di sini untuk memastikan semua baik-baik saja" Bu Ratna menggenggam jari kanan Bada.
"Tapi Bada takut"
"Tidak perlu takut. Besok Ibu akan mengantarkan kamu ke Stasiun dan memastikan kamu aman hingga naik ke kereta. Sesampai di sana, kamu akan dijemput Ustadz Selamet, Kyai Rahman sudah menugaskannya".
"Ya sudah Bu. Bada lanjut beres-beres dulu".
Bada meninggalkan Ibunya di ruang tengah. Ia tak menjelaskan bahwa ia begitu takut meninggalkan ibunya.
"Kalau sudah selesai, segera tidur. Besok keretamu berangkat pagi. Jangan sampai kesiangan" Bada tak mengangguk, ia tahu ia tak akan bisa tidur awal. Banyak hal berkecamuk di kepalanya. Ini akan menjadi malam yang panjang. Seandainya malam itu ia punya teman bercakap tentang segala kegundahannya Bada mungkin akan sedikit tenang.
"Aku akan mendengar". Sebuah bisikan kecil terlintas di telinga Bada. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Tak ada siapa-siapa.
"Ah mungkin perasaanku saja" pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
wasiat.
HorrorBada terpaksa masuk Pesantren untuk menunaikan wasiat dari Ayahnya. Keputusan itu membuatnya harus meninggalkan ibunya seorang diri dan tinggal di asrama yang lokasinya sangat terpencil. Keputusan ini membuat Bada menemukan sesuatu, sesuatu yang t...