STASIUN

1.6K 73 25
                                    

Sebuah mobil Toyota Starlet berwarna merah tua berbelok dari jalanan menuju Stasiun Kereta. Mobil itu kemudian berhenti di parkiran yang letaknya tak begitu jauh dari pintu masuk utama. Dari dalam Mobil Bada keluar lalu mengambil koper yang ia letakkan di bagasi belakang mobil. Tak lama kemudian Bu Ratna juga keluar menyusulnya.

Bel jam berdentang menunjukkan pukul 06.30. Hari masih pagi namun suasana stasiun sudah begitu ramai. Puluhan tukang asongan hilir mudik membawa barang dagangannya. Berlari dari satu pembeli ke pembeli yang lain. Di deretan kursi di ujung peron seorang anak tampak sedang menyemir sepatu milik seorang bapak berusia tujuh puluhan yang tampak terkantuk-kantuk karena harus datang lebih pagi untuk kereta yang berangkat pukul tujuh nanti. Dua kursi di sebelahnya Bada duduk sambil bercakap-cakap dengan ibunya.

"Buk, soal yang tadi"

"Sudahlah Bada, jangan kamu pikirkan. Itu hanya kebetulan semata"

"Tapi Buk" Bada khawatir kalau kejadian yang ia alami akan menimpa ibunya saat nanti ia sudah pergi.

"Ibu yang seharusnya mengkhawatirkan kamu Bada. Ibu tahu kamu tidak siap untuk jauh dari Ibu"

"Lalu kenapa Ibuk tidak membiarkan Bada untuk menemani ibu saja?"

"Tidak Bada. Ini sesuai pesan bapakmu. Ibu rasa ini memang waktu yang tepat untuk kamu mulai belajar mandiri"

"Tapi kalau ibuk kenapa-napa di sini?"

"Tenanglah, Ibuk tidak akan sendiri. Ingat Mbok Ratmi yang dulu pernah mengasuh kamu saat kamu kecil dan Ibu harus berkerja?"

"Iya Bada ingat. Kenapa dengan Mbok Ratmi?" Tanya Bada kepada ibunya.

"Mulai besok nanti beliau akan kembali bantu-bantu Ibu di rumah. Jadi ibu tidak akan sendirian" Ujar Bu Ratna sambil memandangi wajah anaknya yang tampak begitu murung. Hati kecilnya mengatakan ia tak akan siap melepas putra kesayangannya itu.

"Kamu tidak perlu khawatir, Ibu akan sering bersurat kepadamu. Kalau Ibu punya waktu, Ibu akan datang ke sana untuk menjengukmu. Sekalian sowan ke Kyai Rahman". Bu Ratna masih berusaha meyakinkan Bada. Ia tahu Bada tak akan memaksa untuk tinggal, namun ia juga tahu Bada sebenarnya tak ingin pergi.

Bu Ratna berusaha menahan tangisnya. Urusan perpisahan ini memang begitu melankolis. Apalagi kalau ia harus mengingat kenangan lama tentang stasiun tempat mereka berdua kini duduk menunggu keberangkatan kereta.

Enam belas tahun yang lalu di stasiun yang sama. Waktu itu Bu Ratna masih muda dengan usia kandungannya yang sudah cukup tua. Sebuah kereta singgah membawa ribuan manusia. Satu diantaranya adalah seorang pria tampak dengan kumis tipis dan baju muslim lusuh dan badan penuh bekas luka. Pria itu adalah Dana, suaminya.

Sebulan sebelumnya Dana pamit kepada istirnya untuk kembali ke pesantren atas perintah kyainya. Ada hal penting yang harus diselesaikan katanya. Bu Ratna yang sedang mengandung Bada harus merelakan kepergian suaminya. Maka begitu senang hati Bu Ratna kala menyambut kedatangan Dana. Yang tak ia tahu, Dana yang pulang hari itu adalah Dana yang benar-benar berbeda. Dua bulan setelahnya, Dana benar-benar pergi dari hidupnya.

Lamunan Bu Ratna buyar ketika petugas stasiun mengumumkan persiapan keberangkatan kereta melalui pengeras suara.

"Sudah, kamu naik sana. Itu keretamu akan segera berangkat"

"Bada pamit buk"

"Iya anakku. Kalau sempat, kabari Ibu sesampainya kamu di sana. Kamu catat nomor telepon kantor dan rumah kan?"

"Iya Buk". Bada mencium tangan ibunya. Peluit tanda kereta akan berangkat mulai dibunyikan. Bada bergegas meninggalkan ibunya.

"Hati-hati!" Teriak Bu Ratna melihatnya punggung putranya perlahan menghilang di keramaian.

Beberapa menit kemudian kereta mulai bergerak. Peluit panjang dibunyikan. Dari jendela kereta Bada dapat melihat ibunya masih berdiri di sana, di samping peron sambil melambaikan tangannya. Bada membalas lambaian ibunya.

Kereta itu membawa Bada pergi, menuju sebuah cerita yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sementara itu di kursi di ujung peron, bapak yang sepatunya di semir tadi terbangun dari tidurnya.

"Loh, sudah pukul 7 toh ini. Mana kereta saya?"

"Itu tadi barusan berangkat pak" Jawab si bocah penyemir sepatu yang sejak tadi sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sejak lima menit yang lalu ia sudah membangunkan si bapak untuk menagih upahnya. Namun si bapak tetap lelap dalam tidurnya.



____________-

Gak nyangka yang baca ramai juga. ayo bantu vote dan komen! terimakasih semua!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

wasiat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang