Prolog - Harus Terbiasa

40 1 0
                                    

"Mbak? Mbak! Saya mau pesan!" teriak seorang pelanggan sambil melambaikan tangannya di hadapan wajah Ara yang melamun.
"A-ah ya, silahkan" Ara yang baru saja sadar dari lamunannya segera mengangguk dan melayani pelanggan tersebut. Ia tak ingin mendapatkan makian lebih lanjut dari pelanggan bermulut pedas itu.

Hari ini restoran cepat saji tempat Ara bekerja lebih ramai dari biasanya. Dan keramaian bukanlah hal yang disenangi oleh Ara.

Gheara Trista atau lebih akrab dipanggil Ara bukanlah penggemar keramaian. Bahkan, sebisa mungkin dia menghindari pertemuan dengan orang-orang. Hal ini bukan tanpa sebab, Ara memiliki alasan "khusus" yang membuatnya membenci keramaian.

"Apa kau melihat sesuatu lagi?" Riri bertanya kepada Ara sesaat setelah antrean di restoran tersebut melonggar. Riri adalah sahabat Ara yang memperkenalkannya pada pekerjaan ini 3 bulan lalu. Kalau bukan karena terpaksa, Ara takkan mau bekerja di sini. Bukan perkara gaji, tapi restoran cepat saji yang terkenal ini membuatnya harus bertemu dengan keramaian setiap hari.

"Ah... Ya" jawab Ara singkat sambil menganggukkan kepalanya.
"Apakah kau masih belum terbiasa? Sudah hampir 2 tahun sejak insiden tersebut". Ara hanya menggeleng sebagai balasannya. Insiden tersebut memang telah lama berlalu, tapi hingga kini Ara belum terbiasa dengan "hal" tersebut.
"Katakan apa yang kau lihat tadi?" Riri sedikit mendesak Ara yang sibuk memilin jari di ujung bajunya, sebuah kebiasaan yang selalu Ara lakukan saat dia sedang berpikir dan cemas.
"Pria yang bersama wanita tadi.... Dia tak mencintai wanita tersebut. Pria tersebut hanya mendekati wanita itu karena uang" jawab Ara dengan sedikit gugup.
"Benarkah?" Riri kembali memastikan.
"Banyak kupu-kupu jingga tua dan hijau tua berterbangan di sekitar pria itu. Dan kupu-kupu tersebut juga berterbangan mengelilingi si wanita" kali ini Ara menjelaskan apa yang dilihatnya tadi.

Dan itulah alasan mengapa Ara tak menyukai keramaian. Ara dapat melihat perasaan manusia.

"Wah jika yang kau katakan benar, sungguh malang nasib wanita tersebut" timpal Riri sambil menunjukkan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
Ara yang kesal melihat sahabatnya tersebut langsung memukul kepala Riri sambil mendengus "Kau tahu aku selalu benar!"
"Ya..ya..ya baiklah. Kau benar. Kau memang selalu benar dalam hal ini" Riri menjeda ucapannya. "Tapi kau tak seharusnya melamun seperti tadi, Ra. Bagaimana jika kamu mendapatkan teguran lagi karena komplain dari pelanggan? Bisa-bisa kau dipecat dari pekerjaanmu ini"
"Aku tahu, Ri. Hanya saja... aku belum terbiasa. Aku belum terbiasa melihat bagaimana perasaan manusia sesungguhnya. Hal ini sungguh membuat jantungku berdebar setiap kali aku melihat berbagai warna kupu-kupu berterbangan di antara orang-orang" jawab Ara dengan raut penyesalan.
"Aku tahu, tapi kau harus membiasakan diri, Ra. Oke?" Riri menepuk pelan pundak Ara.
"Oke" Ara mengulas sebuah senyum kepada sahabatnya tersebut. 

Ara tahu ia tak bisa selamanya terkejut atau terdiam seperti tadi. Ia juga tak bisa menyampaikan apa yang dia lihat pada orang lain seenaknya. Pertama, dia bisa dianggap gila. Sejauh ini hanya Riri yang percaya dengan ucapan Ara. Kedua, belum tentu orang tersebut ingin mengetahui hal yang sebenarnya dirasakan oleh orang lain. Manusia sangat takut terhadap hal tersebut. Perasaan manusia adalah hal paling mengerikan, karena hal itu tak terlihat.

Ya, Riri benar. Ara harus mulai membiasakan diri untuk bersikap tidak peduli pada perasaan orang-orang yang berterbangan itu. Dia harus terbiasa!

----------
Halo semua! Ini Ruka Rama dan kalian baru saja membaca prolog dari cerita pertama yang saya buat. Terima kasih atas dukungan kalian dengan membaca cerita ini. Tolong dukung saya untuk ke depan ya!. Komentar dan vote kalian akan semakin membuat saya bersemangat.

Salam hangat,
Ruka Rama
----------

Butterfly With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang