Awalan

36 7 3
                                    


"Mereka bukan menginginkan keberadaanku, melainkan membutuhkanku."

°°°

Sekali lagi, muncul cahaya dari benda tipis berbentuk persegi panjang. Jika dihitung, sudah puluhan kali cahaya itu muncul. Bahkan kali ini keluar juga getaran kecil. Ya, benda itu adalah ponsel yang baru saja dibanting oleh sang pemilik.

Tiga menit berlalu, akhirnya sang pemilik ponsel memberanikan diri untuk mengambilnya. Benda yang sejak tadi tidak berhenti mengeluarkan cahaya.

Sangat memuakkan, batin sang pemilik.

Tangannya gesit menelusuri setiap layar ponsel, matanya pun fokus memandang setiap jejalan huruf.

100 pesan dari 34 orang dan 1 panggilan tidak terjawab.

Seringai kecil muncul di sudut mulut sang pemilik ponsel. Lalu, disusul tawa kecil. Jeda beberapa detik, dua tetes air mata mengalir dari kedua pipi chubby sang pemilik ponsel.

"Hanya ini? Apakah hanya ini bentuk apresiasi dari semua hasil kerja kerasku?!" teriak parau sang gadis pemilik ponsel.

Muncul seluruh kejadian beberapa hari yang lalu di benak gadis itu, layaknya sebuah kaset usang yang menampilkan rekaman acak tanpa jeda.

Kedua tangannya sibuk memegang kepalanya yang merasa kesakitan. Namun, itu tak lebih sakit dari hatinya sekarang.

Dia membiarkan ponsel yang di pegang jatuh di dekat kakinya.

Ponsel itu bergetar dengan layar menyala menampilkan sebuah nama, Ayah.

Gadis pemilik ponsel reflek menghapus air mata dari kedua pipinya, ia mengambil ponsel lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Nora, putriku." suara dari seberang telepon.

"Ya Ayah," jawab sang gadis yang berusaha sebaik mungkin untuk menampakkan senyum kecil di wajahnya.

"Apakah kamu sibuk belajar, nak? Sampai berani mengabaikan panggilan Ayah"

"Iya Ayah, maaf."

"Ayah maafkan untuk kali ini, karena kamu sudah membuat Ayah bangga. Tidak semua orang bisa memenangkan kompetisi itu kecuali putri Ayah satu satunya hahaha..,"

"..."

"selanjutnya lakukan dengan maksimal, dapatkan tempat pertama di ujian yang akan datang!"

"iya."

"Ayah masih banyak urusan, untuk minggu ini Ayah tidak bisa pulang. Kamu mengerti, Nora?"

"iya," jawaban singkat dari gadis bernama Nora diikuti oleh sambungan terputus di ujung penelepon, ayahnya.

Sebuah suara tiba-tiba terngiang dikedua telinga Nora, "Lakukan semua yang Ayah katakan, jangan membantah!"

Itulah perkataan Ayahnya 5 tahun yang lalu saat Ibunya meninggal dunia. Waktu itu, Nora hanyalah seorang gadis kecil yang terpukul setelah mendengar kabar bahwa ibunya tidak akan berada disisinya lagi. Ia merasa bahwa semua kebahagiaannya lenyap, yang bisa dilakukan hanyalah mencari kebahagiaan lainnya yang tersisa, sang Ayah.

Nora kecil sering mendatangi ruang kerja Ayahnya dengan menangis sesegukan dan mengeluh bahwa dia rindu ibu. Namun, yang ia dapatkan hanya sebuah bentakan dari sang Ayah.

Nora akhirnya berhenti menangisi kepergian Ibunya ketika sebuah pukulan hebat mendarat di pipi mungil nya.

***

Nora tersontak dari lamunan nya. kenapa dia harus selalu teringat akan kejadian masa kecilnya? Tiba tiba terlintas sebuah pikiran kecil, apakah ia akan bahagia bila merasakan hal yang bernama amnesia. haha, nora sangat yakin orang-orang akan bertingah (sok) baik lagi di depannya.

Sekali lagi, sangat memuakkan.

Nora mengambil sebuah buku catatan kecil yang ada di atas meja belajarnya, ia mengambil sebuah bolpoint lalu mulai menulis. Setiap rencana yang ada dalam benaknya, setiap percobaan, semua hal yang ia rasakan selalu tergores di buku catatan kecilnya itu. Yah, hanya benda kecil ini lah yang menjadi saksi bisu semua hal yang dirasakan oleh seorang Chinora Puspita.

catatan hari ini,

aku ingin amnesia,
sungguh ingin merasakan amnesia.
tunggu, apakah hal ini semudah itu?
oke, ini penting
aku harus sering-sering menonton siaran televisi yang menampilkan orang amnesia didalamnya, HARUS!

-Chinora P.

°°°

Chinora's ViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang