Metro mini tiba-tiba berhenti. Kukira sudah sampai, tapi ternyata ini bukan halaman depan rumahku, "Nak, hujannya semakin deras. Enggak baik kalau dilanjut, takut terjadi yang enggak-enggak." Kata si bapa tua supir metro mini itu. Si bapa lalu turun dari bis dan berlari ke arah warung sederhana yang tak jauh dari tempat pemberhentian bis ini. Mungkin sejenak ingin menghangatkan tubuhnya dengan segelas kopi atau tidak wedang jahe hangat yang harumnya sampe tercium ke dalam bis. Sepertinya tidak ada salahnya untuk mencoba segelas wedang jahe itu. Aku turun dan berlari ke arah warung yang ternyata penjualnya badai cantik yang masih muda.
"Mau secangkir teh, kak?" Tanya gadis kecil itu dengan ramah tidak lupa dengan bulan sabitnya ia ikut sertakan hadir.
"Bukan,"
"Oh secangkir kopi hitam pastinya, iya kan?" lucu sekali wajahnya.
"Eh, enggak. Aku gak suka kopi,"
"Terus kakak mau apa?"
"Secangkir wedang jahe ada?"
"Secangkir wedang? Disini tidak ada, kak. Sepertinya maksud kakak seperti mas itu ya?" ku lirik seorang lelaki di samping pak supir. Lelaki yang sedang membaca buku sambil dengan santai meneguk segelas minuman penghangat yang ku maksud; wedang jahe. "Kalau mas itu, dia bikin sendiri wedang jahenya," membuat sendiri? kok bisa?
Aduh Aruna, tentu saja bisa, karena sudah meminta izin pastinya
Baik. Tidak ada pilihan lain selain teh hangat, daripada harus mencoba kembali rasa pahit dari seteguk kopi yang terakhir kali aku minum dengan bang Aru, di sebuah kedai kemarin siang itu. Tidak tahu kenapa aku pesan cappuccino, barista kedai itu mengantarkan kopi hitam. Entah memang Barista kedai itu salah memberi pesanan, atau memang kemarin akal-akalan bang Aru untuk membuatku kesal. Bukan tanpa alasan aku menuduhnya, karena ketika barista itu pergi, bang Aru pun ikut pergi dengan alasan mau ke toilet. "kak, jadi pesan?"
Aduh bagaimana sampai tidak ingat kamu Runa! Kamu belum memesan apapun, hanya berdiri saja, tidak jelas sekali!
"Eh, ya sudah deh aku pesan teh hangat saja,"
"Aku buatin teh hangatnya dulu, kak. Ditunggu ya!" katanya
"Santi jangan kamu buatkan, biar aku saja yang membuatnya!" tiba-tiba lelaki berjaket denim yang asik membaca buku dan meneguk wedang jahe di kursi itu berdiri. Ah iya! Jangan lupa juga ternyata lelaki itu sudah akrab dengan penjualnya. Pantas saja membuatnya sendiri, "Iya, mas.."
Gadis itu, Santi namanya. Dia duduk di sampingku, "Rupanya sudah saling kenal ya?" aku mencoba memulai pembicaraan. Karena dari tampang gadis kecil ini, dia ramah. Semoga saja tebakanku ini tidak melesat. Tapi tidak mungkin. Bukan Aruna namanya jika tebakan seperti ini saja salah.
"Iya, kak. Itu namanya mas Laka. Dia memang suka ke warung, dia kalo minum pasti bikin sendiri tapi selalu bayar. Ibu juga sampai aneh, padahal seharusnya tidak usah karena mas Laka cuman ikut merebus air saja. Dia juga hebat loh, kak!"
Lihat! Benarkan? Dia gadis yang ramah. Antusias sekali menceritakan sosok lelaki berjaket denim itu. "Hebat?"
"Iya hebat, hebat sekali. Kemarin saja, dia rela tidak tidur sampai jam satu malam cuman untuk membereskan buku bacaannya. Kata mas Laka, mas Laka sudah berjanji pada dirinya sendiri harus membereskan dua buku dalam satu hari. Catatannya, dua buku kalau tebal, dan lima buku kalau tipis. Makannya sekarang dia bawa banyak sekali buku. Soalnya kata mas Laka kali ini buku yang tersisa di rumahnya tinggal yang tipis-tipis," aku masih mendengarkan setiap cerita dari gadis cantik dihadapan ku ini. Lucu sekali! Kadang sesekali aku menjawab, "Wah hebat sekali ya!" atau tidak, "oh begitu," sambil menganggukkan kepala.