Ibu, "Siapa bilang kita merdeka?"

704 13 3
                                    

Setting
Panggung temaram. Suasana jaman dahulu, jaman perang. Di Bagian tengah panggung terdapat ayunan dari selendang, tempat bayi ditidurkan. Seorang perempuan mengenakan sewek dan baju alakadarnya, paruh baya namun ayu parasnya tertidur disamping ayunan.

Bagian I
Dorr..dorr..
Suara tembakan.
Mbok terbangun dan sigap menenangkan bayinya yang menangis terkaget, terdengar mbok melantunkan tembang.

Taklelo lelo lelo ledung…
Cup cup cup, anak bagus mbok.
Haah, tangismu begitu keras, lantang sekali, macam bapakmu yang dengan gagah berteriak “Merdeka…merdeka!”
Iya, cup cup cup ya le..
Jari mungil mu kuat sekali meremas tangan mbok mu ini, macam bapakmu yang tak gentar walau dihadang penjajah sekalipun.
Waduh cup cup le..
Nah iya begitu, senyum, ketawa. Iya ketawa le, ketawa haha..
Ketawa le, meski bapakmu ndak akan balik.

Bagian II
Mbok meletakkan kembali buah hatinya ke ayunan tidur.

Le, bapakmu itu orang pintar, orang bodoh seperti mbokmu ini dijadikan bisa membaca dan mengetahui banyak hal.
Semua pemuda hari itu bergerak, lantas bapakmu memutuskan pergi.

Bagian III
Mbok memperagakan bapak saat dulu berpamitan.

Bapakmu menghadap mbok, tangan kirinya dibahu kanan mbok, tangan kanannya menyentuh lembut pipi, dengan halus bapakmu berbisik, 
“Ani, aku tidak bisa berdiam diri disini sementara mereka semakin menjadi-jadi menjajah tanah kelahiran kita, sakit hatiku Ani. Ini tanah kita, sepantasnya mereka hengkang dari sini. Ani wanitaku, wanita pandai yang tegar, kamu pasti bisa menggantikanku mengajar selama aku ikut dalam barisan perang, tenanglah, aku akan kembali untukmu dan tole.”
Iya le, kamu yang dimaksud bapakmu.
Benar kata bapakmu, bapakmu kembali dengan senyum, tampak kelegaan didalamnya.
Sayang, tidak ada lagi denyut dinadinya.

Bagian IV
Dorr..dorr..
Suara tembakan.

Ndak le, ndak, mbok ndak rela kamu mati macam bapakmu, ndak le, ndaaakk!
Tujuanmu sama mulianya dengan bapak, mbok tau kamu selalu ingin menjadi seperti bapak.
Kematianmu untuk Indonesia, meski yang akan mengenangmu cuma mbok.
Cuma mbok yang mengenang semangatmu, bagaimana kamu berdiplomasi dengan bahasa tinggi, bagaimana kamu bersembunyi dari kejaran hingga kamu mati karena ketidakadilan dan keserakahan mereka.
Haha, miris, bahkan kamu dibunuh bangsa sendiri.
Mbok ingat sehari sebelum kematianmu, le.

Bagian V
Mbok menuju meja dan menuangkan air putih.
Kembali ke masa dimana tole meminta izin untuk pergi.

Memang harus ya, kamu berangkat hari ini le?
Tega kamu meninggalkan mbok yang lagi masuk angin ini, haha, masa iya mbok ngerok punggung sendiri.
Kamu memang manis kalau tersenyum, makin ganteng tolenya mbok, haha.
Tapi bener loh le, apa ndak bisa kamu tunda keberangkatanmu 2 atau 3 hari lagi?

Bagian VI
Dorr..dorr..
Suara tembakan.

Coba waktu itu kamu nurutin maunya mbok le, kamu ndak akan berakhir seperti ini, mbok ndak akan sendirian begini.
Pahit le, pahit kenyataan penuh kebohongan ini, semakin gila mbok, menyayangkan kematianmu sia sia.
Ya sia sia, andai kamu tau le, Indonesia masih belum merdeka meski Sang Saka berkibar dengan indahnya, meski lagu Indonesia Raya bebas diputar tanpa cekaman, meski kata Demokrasi bergaung dimana mana, satu sama lain saling menghujat merasa paling benar, saling menjatuhkan, yang bersuara yang dibungkam, pahit, cuih.
Ngeri, ngeri dimana-mana, dimana-mana kriminal, kriminal dalam diam, yang jahat semakin ramai, yang baik semakin diam. Menjual agama sebagai kedok keuntungan. Kepentingan pribadi diatas segalanya, bangsa dijajah bangsa sendiri. Ujaran kebencian, berita kebohongan, orang-orang baik hanya diam.
Ya, kalian hanya diam!

Bagian VII
Mbok membungkuk seakan makin menua.

Biarkan mbok yang tidur, hanya “Bangunkan Indonesia”

Mbok mati dalam posisi tidur.
Pertunjukan selesai.

Ibu, "Siapa bilang kita merdeka?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang