Sepasang kelopaknya mengerjap, mencoba membiasakan sinar lampu tengah ruangan yang serasa menusuk mata. Putih mendominasi sekitar namun tak terdapat aroma yang ia benci sepanjang hidupnya -aroma khas rumah sakit.
Menoleh ke samping, atensinya mendapati benda semacam buku-buku tersusun rapi dalam rak bertingkat, sebuah komputer bertengger di atas meja kayu beserta lemari ukuran sedang di letakkan bersebelahan dengan meja. Jangan lupakan sebuah kursi di sisi kiri tempatnya berbaring, seseorang habis menduduki sepertinya. Ah, barangkali Ibu!
Suhu ruangan terasa hangat, selimut tebal yang menutupi kaki sampai lehernya juga berfungsi baik, membuatnya nyaman.
By the way, ia tak bisa menebak saat ini siang, pagi, malam atau semacamnya, -ia tak bisa melihat suasana dibalik jendela, lebar gorden terbentang menutupi bingkai kaca persegi panjang.
Cukup lama memandang seisi ruang yang diketahui sebagai kamar tidurnya, ia mencoba duduk. Kepalanya pusing. Seluruh tenaga dikerahkan, beberapa kali ia gagal. Padahal cuma berubah posisi berbaring-duduk. Menghela, ujung-ujungnya tetap kembali posisi awal.
Kalau di ingat lagi.. sebelumnya ia menjalani tiga hari rawat inap di rumah sakit, diizinkan pulang pada hari berikutnya, dan berakhir terlelap di kamar tidur.
Sudah berapa jam terlewati sejak saat itu?
Entahlah.Cklek
Pintu jati terbuka pelan, pemilik surai pink pudar sepinggang menyembul dibaliknya.
"Ohayou, Okaa-san," sapa Riku hangat.
Tersenyum, langkah ringan seorang wanita paru baya namun memiliki paras ayu tak lekang dimakan waktu itu mendekat pada sisi kasur. Meletakkan handuk kompres pada kening putranya yang terbaring, lantas ia mendudukkan diri pada kursi.
"Konnichiwa, ini sudah siang, Riku."
"Dan jangan layangkan tatapan seperti kau melihat hantu," suara lembut -agak tegasnya mengalun.
Riku sedikit terkekeh, "Ehehe maafkan aku, Okaa-san. Aku tak bermaksud begitu."
"Aku tahu. Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?"
Beberapa jam sebelumnya sempat ia cek, angka suhu di atas normal pada termometer membuatnya panik. Riku sakit lagi, dan ia terlampau khawatir.
"Masih agak pusing, tapi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih sudah merawatku, Okaa-san!"
Sang Ibu tersenyum lembut, lagi. Tidak ada yang bisa membuat relung dada menghangat selain senyum secerah mentari milik putranya.
"Tidak perlu berterima kasih! Sudah kewajibanku untuk mengurusmu pastinya." Belaian tangannya jatuh pada surai kemarahan.
Obrolan singkat ditutup. Sang Ibu memberikan semangkuk bubur hangat. Riku seketika mengibaskan tangan di udara tanda menolak, sesendok bubur sudah tersodor di depan mulut, Ibunya bersikeras menyuapi ternyata. Ia malu, laki-laki, sudah remaja tahun pertama menengah atas pula! Kok masih mau disuapi macam anak kecil?
Meski akhirnya tetap menurut ketika pandangan sepasang manik magenta muda Ibunya berkaca-kaca -tangis buaya, kekanakan memang tapi ajaibnya cukup ampuh membuatnya tak berdaya.
Beberapa suapan diterima, pipinya merona malu namun hati bersorak riang. Sesekali jadi anak kecil lagi tak apa, kan? Batinnya tertawa geli atas tingkahnya sendiri.
"Enfants intelligents!" berseru, tepukan-tepukan kecil mendarat halus di pucuk kepala. *
BLUSH!
KAMU SEDANG MEMBACA
Vie Psychique || I7 Fanfiction
FanfictionSummary: Tidak ada yang mau, pun menginginkan. Bahkan sebagian besar menderita. Mau ditolak mentah-mentah juga percuma, toh, kenyataannya memang mereka alami. Di antara mereka yang pasrah merima -beranggapan sudah jadi ketetapan garis takdir, ada pu...