"Bagus yang ini? Atau ini?"
Ia menyodorkan dua baju, yang satu cokelat pudar, yang lainnya biru langit.
"Yang ini! Lebih kalem kalo nanti dipake."
Senyumnya muncul, lalu mengambil baju yang aku pilih, warna cokelat. Kami kembali beranjak, mencari sepatu yang senada. Mata hazel dipayungi bulu mata lentik itu kegirangan jika menemukan barang bagus. Bibir kecilnya bergumam, mungkin berdiskusi dengan diri sendiri apakah itu cocok atau tidak. Aku terkagum-kagum melihat semangatnya, terlebih dengan perut yang sudah membuncit.
Sejak mengandung, wajahnya kian memesona, membuat hatiku -lagi dan lagi- berdesir halus saat senyum berlesung pipi itu keluar, apalagi suara renyahnya ketika tertawa.
"Sepatu ini matching! Ini aja deh, ya?"
Fokusku kembali saat ia bertanya. Aku segera mengangguk, menyetujui pilihannya. Kami berjalan menuju meja kasir, menyerahkan barang-barang tadi yang sudah dipilih untuk dihitung.
Dering gawai dalam tasnya menginterupsi, tanda sebuah telepon masuk.
"Hallo, Mas? Sudah dimana? Beneran? Oke, aku ke sana."
Setelah obrolan singkat itu selesai, raut wajahnya cerah namun membuat hatiku mendung parah. Itu pasti dari suaminya. Memang kami tak sengaja bertemu. Aku ada klien yang minta meeting dadakan di sekitar mall, sedangkan suaminya tak bisa mengantar karena ada urusan kantor. Harusnya tadi aku tak menawarkan diri untuk menemani.
"Loh? Kenapa kamu yang bayar, sih? Aku bawa kartu kredit nya Mas, kok!" Ia kaget saat aku menyerahkan uang tunai pada kasir.
"Nggak apa-apa. Kapan lagi kan traktir sahabat sendiri yang bakal jadi ibu?"
"Widiiiih! Mantap! Kamu emang terbaik!" Katanya seraya mengacungkan ibu jari.
Aku berusaha tersenyum senang dan berbicara seceria mungkin, yang sebenarnya sedang menutupi rasa sesak dari tadi.
Kalo memang aku ini yang terbaik, lantas mengapa hanya sebatas sahabat untukmu? Aku yang pengecut atau kamu yang tidak peka terhadap perasaan ini? Entahlah, namun lagu milik Tulus yang berjudul sepatu mengalun di pengeras suara seperti menertawakanku kali ini.
Short Story by :
GNZ
###