"Logo majalah anda, mengapa pilih kupu-kupu?"
Beomgyu tidak pernah tahu persis, "Mungkin karena kupu-kupu adalah lambang metamorfosis bagi semua orang? Atau bisa juga karena, ehm, di masyarakat kita, kupu-kupu merupakan pertanda kedatangan tamu? Dan, majalah saya ingin menjadi tamu yang diinginkan setiap rumah."
"Tadi pagi saya kedatangan kupu-kupu. Bayangkan, di gedung setinggi ini, ada kupu-kupu kecil yang masuk lewat celah jendela."
"Mungkin itu artinya anda akan kedatangan saya, kupu-kupu sebesar orang berbaju putih." Beomgyu mengacungkan kerah kemeja putihnya, jenaka.
"Aneh, kupu-kupu tadi juga putih," Yeonjun menggumam, ini semua terlalu naif untuk disebut kebetulan, "dan, pasti anda juga yang memilih nama rubrik itu."
"Memang betul, kok bisa tahu?" Beomgyu terkesan.
"Kamu baru di ruangan ini sepuluh menit, tapi semuanya seperti jelas. Mungkin kamu memang orang yang berkepribadian kuat, signifikan. Bagus." Yeonjun tersenyum, hangat.
Senyum dan kata "kamu" terasa mencairkan sesuatu. Dan, Beomgyu mulai merasa nyaman berhadapan dengan sang Mitos.
"Oke, saya mulai dari awal. Rumah. Keluarga." Beomgyu menyalakan tombol record. "Sebesar apa peran orangtua kamu dalam pembentukan karakter atau karier?"
"Ibu saya meninggal sejak umur saya lima tahun. Saya sendiri belum pernah bertemu ayah saya. Akhirnya, saya tinggal dengan kakek dan nenek. Waktu umur saya sebelas tahun, keduanya meninggal dunia. Dan, mereka telah meninggalkan wasiat untuk menitipkan saya di keluarga sahabat kakek di San Francisco, berikut semua biaya hidup dan sekolah saya sampai selesai. Kakek saya persiapannya luar biasa ya?" Yeonjun menarik nafas sebentar.
"Jadi, kalau ada figur orangtua yang paling berperan, mereka adalah kakek-nenek saya. Dan, tentu saja, Ranch Randa, sahabat Opa yang sudah seperti ayah saya sendiri." Wajah itu datar. Seolah tidak ada secuil pun unsur dramatis dari masa kecilnya.
Malah, Beomgyu yang terdiam. Dalam kamusnya, tidak ada air muka sebrilian itu selain ekspresi Mr. Bean saat di belakang setir mobil Morris-nya.
"Yeonjun...?" ia menyebut nama itu seolah meminta izin. "Apa cita-cita kamu waktu kecil? Dokter? Insinyur? Ingin seperti siapa?"
Pria itu tertawa. Teringat daftar cita-cita klasik yang jadi pedoman anak-anak SD dulu.
"Kamu sendiri, Beomgyu?"
"Bintang film," Beomgyu nyengir. "Kalau kamu?"
Tidak ada yang tahu betapa sulitnya pertanyaan itu dipaksa untuk menyusuri kelamnya gua masa kecil yang penuh lumpur. Mungkin inilah gorong-gorong saluran psikologis.
Cita-citanya adalah getarannya yang pertama. Ia alami ketika sedang membereskan rak-rak taman bacaan tua milik Opa. Disana, Yeonjun menemukan kertas-kertas perdananya. Sebuah potongan komik. Ada gambar seorang kesatria dan bidadari.
Kesatria jatuh cinta pada Bidadari.
Sang Bidadari naik ke langit.
Kesatria kebingungan.
Kesatria pintar naik kuda dan bermain pedang, tapi tak tahu caranya terbang.
Kesatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada kupu-kupu.
Tetapi, kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon.
Kesatria lalu belajar pada burung gereja.
Burung gereja hanya mampu mengajarinya sampai ke atas menara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repudiate | YeonGyu [END]
Romancere·pu·di·ate /rəˈpyo͞odēˌāt/ (i.) deny the truth or validity of. Yeonjun, seorang managing director muda yang tampan, yang selalu sibuk di setiap hidupnya, harus berdaya menyelusup ke kisah cinta yang belum pernah dirasakannya. Parasnya jauh dari k...