Repudiate, the authentic taste of bourbon

727 101 33
                                    

Lama-lama, Beomgyu menyadari jeda kosong yang tak lagi wajar. "Maaf, cita-cita waktu kecil?" ia mengulang hati-hati.

Yeonjun mendongak. Wajah yang satu ini mengundang kejujuran. Tidak tahu kenapa. Konon, kita memang tidak pernah tahu akan bertemu dengan siapa hari ini atau esok lusa. Dan, siang hari ini, ia menemukan seseorang yang memaksanya kembali ke masa lalu. Hidup memang aneh. Banyak penjelasan dalam ketidakjelasannya.

"Saya ingin jadi Kesatria," ia menjawab pelan. Dan, masih betapa jauhnya ia dari cita-cita itu.

"Maksud kamu, jadi ABRI, begitu? Atau pendekar silat?"

"Yah, kira-kira."

Beomgyu geleng-geleng kepala. "Sudah saya duga. Jawaban pertanyaan ini pasti penuh kejutan."

"Bagi saya, pertanyaan kamulah yang mengejutkan."

Beomgyu menatap pria itu. Ada intensitas dalam adu pandang mereka yang hanya dua detik. Inilah saat suara piano akustik biasanya muncul sebagai ilustrasi.

Beomgyu langsung salah tingkah. Saat itu, ia belum sepenuhnya sadar, sebenarnya ia tak sendirian.

"Kamu punya waktu sampai makan siang, kan?" Yeonjun bertanya.

Inilah saatnya sekawanan biola biasanya mengalun masuk.

Beomgyu mengangguk. Terlalu cepat. Tak ada yang bisa disembunyikan. Termasuk cincin emas polos yang melingkar di jari manisnya.

Yeonjun baru menyadari keberadaan cincin itu ketika mereka pergi makan siang berdua. "Kamu menikah?"

"Iya." Suara Beomgyu mengambang seperti awan.

"Sudah berapa lama?"

"Tiga tahun."

"Berarti, waktu kamu masih 24 tahun? Relatif cepat juga ya? Untuk ukuran modern yang saya tahu sekarang. Ada alasan khusus?"

"Orangtua. Terutama mertua saya. Katanya, lebih baik disuruh nikah cepat-cepat. Toh, sudah pada lulus kuliah, sudah bisa kerja."

Mata Yeonjun membelalak tak percaya. "Oh, ya? Saya kok baru dengar alasan seperti itu."

"Buat seseorang yang dari smp sudah pergi sekolah ke San Francisco, mungkin jadi hal baru." sahut Beomgyu. Getir.

Beomgyu tak menceritakan bagian dimana ia benar-benar mabuk cinta. Mabuk akan imaji cinta yang terwujud dalam bahtera rumah tangga.

"Bagaimana rasanya menikah? Menyenangkan?" kali ini, Yeonjun menyempatkan menatap mata Beomgyu. Sorot mata yang tak kunjung berpijak.

"Yah, begitulah," Beomgyu mencoba bersikap santai, "memang sih, nggak terlalu mirip dengan yang saya bayangkan dulu, tapi oke-oke saja."

"Maaf, mungkin nggak pada tempatnya saya bertanya seperti itu. Cuma saya selalu terkesan pada orang-orang yang mampu berkomitmen tinggi soal cinta karena saya sendiri nggak pernah punya hubungan serius."

"Nggak sempat, maksud kamu?"

"Tepat! Itu faktor utama." Yeonjun tergelak.

Tawanya menghilang seketika. "Sepatutnyakah itu disebut parah?" Yeonjun bertanya sungguh-sungguh.

"Kira-kira, iya." Nada bicaranya semakin mirip balon gas lepas. Mengapung tanpa arah.

"Tapi, nggak seperti apa yang kamu bayangkan?"

Beomgyu menghela nafas. "Banyak sisi yang ikut muncul, sisi yang sebenarnya pasti ada, tapi nggak pernah diharapkan. Nah, disanalah gunanya komitmen."

"Komitmen memang alasan paling bagus untuk berkompensasi. Tapi, untuk urusan hati, saya pikir siapapun setuju harganya tak ternilai." ujar Yeonjun dengan ringannya.

"Cinta, kan, butuh pengorbanan." sahut Beomgyu pelan.

"Lalu, idiot mana yang menulis Love shall set you free? Tadinya, saya pikir cinta seharusnya menjadi tiket menuju kebebasan, bukan pengorbanan. Agaknya, konsep itu terlalu utopis, ya."

Lama mereka berdua terdiam. Terlalu lama sehingga menyiratkan segalanya.

"Wawancara yang sangat menarik, terima kasih. Bukti terbitnya akan saya kirim." Beomgyu bangkit berdiri.

"Nggak ada kartu nama?"

"Oh, ya. Sebentar." Sigap, Beomgyu mengambil selembar, menuliskan nomor ponselnya, dan merasa lega. Ia ingin meninggalkan jejak.

"Ini kartu nama saya." Yeonjun langsung menuliskan nomor ponselnya.

Beomgyu benar-benar lega.

"Beomgyu..."

Ia menoleh, bola matanya bersinar indah. Tak ada yang bisa memungkiri, ternyata di sanalah hati Yeonjun tertambat. Di sinar mata yang siap mendobrak kungkungan demi mimpi yang setinggi langit. Sinar mata yang meningatkannya pada diri sendiri.

Yeonjun tersenyum. Bidadari, tak kusangka akan menemukanmu secepat ini.

Di sinilah momen alunan biola biasanya kembali terdengar. Sampau sekarang, Yeonjun pun masih bisa mendengarnya. Namun, terkadang bunyinya amat sumbang. Mengoyak dan menyayat.

Ia ingin tidur.

– end –

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

– end –

akhirnya ini end juga walau banyak yang ke skip di novel aslinya, hohoho

tangan saya udah gatel pingin ngelanjutin book Perpetuity di sebelah wkwk, mohon bantuannya ya

sampai jumpa di work lainnya,
cora

║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║
║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║
© coraveo, 2020

Repudiate | YeonGyu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang