1

30 0 0
                                    

Tanaman pucuk merah itu tumbuh tepat di halaman rumahmu. Setiap sore daunnya meliuk-liuk seakan tidak memiliki beban apapun. Tanaman itu tumbuh seolah cerminan dari pemiliknya, tinggi, tidak roboh walau diterpa angin sekencang apapun. Dibawahnya ada bangku yang seringnya kosong, karena penghuni rumah yang jarang berada di rumahnya.

“Hidup di perantauan adalah pilihanku, Ra” katamu, pada sore itu.

Seolah tidak pernah ada waktu yang aku lewatkan untuk tidak lewat di depan rumah lamamu, karena tanpa ku sadari rumah itu adalah favorit. Rumah yang pernah menawarkan berbagai kebahagiaan, rumah yang selalu hangat menawarkan pelukan, rumah sebagai tempat pulang atas segala resah dan gelisah. Meskipun, rumah itu sekarang telah berbeda.

Tapi, rumah bercat abu-abu dan berpagar putih itu tetap menjadi favoritku. Rumah itu telah dihuni oleh pasutri muda, dua tahun setelah kau dan keluargamu memilih untuk mengosongkan rumah ini. Dua tahun bukan waktu yang singkat, dan pasutri muda itu tetap membiarkan tanaman pucuk merah itu tumbuh menjulang tinggi di halaman rumahnya. Walaupun, keberadaannya sudah menutupi sebagian dari rumah itu. Aku senang, pasutri muda itu merawatnya dengan sepenuh hati, yang aku yakini, itu juga tanpa perintahmu.

“Kenapa kamu tidak menebangnya saja sebelum memutuskan untuk meninggalkan rumah ini?" tanyaku pada sore yang sama ketika aku berbincang dengannya.

"Menebang? Tanaman ini?" jawabnya sembari menunjuk tanaman di atas kami.

"Kenapa kamu memilih orang lain untuk merawatnya? Kenapa tidak kamu tebang, lalu kamu simpan sebagian batangnya dan kamu bawa ke perantauan sebagai tanda bahwa kamu tidak akan pernah melupakan aku?” sambungku

“Kenapa kamu harus selalu menjadi pribadi yang egois hanya demi menyenangkan dirimu sendiri?” jawabnya, sembari memandang jauh ke depan.

Aku tertawa mengingat kembali pertanyaan itu. Tawa yang terdengar sumbang. Tawa yang tidak pernah aku inginkan untuk keluar dari mulutku. Tawa yang tidak menunjukkan kebahagiaan apapun. Perkataan dan permintaan itu adalah konyol, bahkan aku sendiri jika disuruh menebang lalu menyimpan sebagian batangnya juga pasti tidak mau.

Aku memang egois yang seringnya tidak pernah sadar diri. Zaman sekarang sudah canggih, kita bisa memotretnya dengan kamera canggih lalu menyimpannya, atau mungkin memilih menghapusnya agar segala kenangan yang menyertai ikut hilang.

“Memilih merantau murni pilihanmu atau pilihan kedua orangtuamu?” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku

“Pilihanku.”

Hening setelahnya, tak ada jawaban yang keluar dari mulutku.

Aku tidak tau harus menanggapi apa terkait pilihan-pilihannya yang seringnya tak bisa ku nalar dengan akal fikiranku. Bangku di bawah pucuk merah ini adalah saksi bisu, sepasang anak manusia yang bingung dengan arah hidupnya, bingung dengan pilihannya. Namun, duduk dibangku ini adalah salah satu hal yang paling ku benci.
Bangku yang harus menjadi tempat kami membicarakan mengenai perpisahan.

Aku memilih duduk dibangku itu sembari mengenang tentang aku dan dia. Persetan, jika dikata orang aku adalah manusia aneh. Menyelonong masuk memasuki halaman rumah orang lain tanpa ijin, hanya karena ingin duduk dibawah tanaman pucuk merah miliknya. Hahahaa, miliknya?

Ku telisik satu per satu bagian depan rumah ini. Persis, tidak ada yang berbeda. Semuanya masih sama, hanya saja rak sepatu yang dulu ditaruh di sebelah kiri pintu, sekarang tidak ada. Mungkin, karena mereka adalah pasutri muda yang belum terlalu membutuhkan rak sepatu untuk menyimpan sepatu-sepatu mereka. Tempat rak sepatu itu digantikan dengan rak putih yang diisi berbagai tanaman kaktus dengan ditata berjejer rapi.

Aku masih terdiam dibangku bawah pucuk merah ini, warna catnya pun masih sama. Dia dulu pernah bercerita bangku ini dicat dengan warna hitam, karena dia tau bahwa itu adalah warna kesukaanku. Ingatan itu..

"Ra, bangku depan rumah pengin aku cat. Enaknya dicat warna apa, ya?"

"Aku suka warna hitam."

"Tapi, nggak cerah, Ra."

"Tidak semua yang ada di dunia ini harus berwarna cerah, kan?"

"Oke. Besok aku beli cat warna hitam untuk mengecat bangku favoritmu."

"Favorit kita, Dam."

Ah, kenapa tentangnya harus semenyenangkan ini.

Menerawang ke depan lebih jauh, mencoba menerima kenyataan bahwa aku dan dia tidak akan pernah duduk dibangku ini lagi. Tetapi, ingatan itu tiba-tiba muncul...

“Percayakan hatimu kepadaku, Ra, maka kau tak akan menemui kehilangan” katanya diiringi dengan senyuman termanis miliknya.

Hah? Bodoh sekali, waktu itu aku tersenyum lebar dan langsung menjelma menjadi manusia yang sangat bahagia pada hari itu, mempercayakan seluruh hatiku untuknya, tanpa ada yang ku sisakan untuk diriku. Segala ragu luruh seketika bersamaan kata yang keluar dari mulutnya. Segala hal buruk hilang begitu saja, karena aku percaya, dia adalah manusia yang selalu memegang teguh perkataannya.

Ah, aku benci air mata ini harus menitik ketika mengingatnya. Aku benci segala hal yang membuat diriku rapuh. Tetapi, memang aku sendiri yang suka mencari masalah. Kenapa kalau tidak ingin mengingatnya harus duduk dibangku ini. Konyol. Bukankah niatku dari awal untuk pergi ke rumah ini memang ingin mengingat segala kenanganku dengannya.

Tiba-tiba saja pasutri itu datang.

Mereka mendapatiku tengah termenung dibangku ini. Aku gelagapan, tidak menyangka mereka akan pulang secepat ini. Biasanya juga mereka pulang ketika senja datang.
Aku buru-buru melihat jam yang melingkar ditangan kiriku, aku terkejut, ku dapati jam tengah menunjukkan pukul setengah enam sore.

Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Pantas saja pasutri itu sudah pulang, kan memang sudah waktunya jam pulang kantor. Langit sore ini memang mendung, jadi tidak ada senja.

“Mbak, masih saja mengingatnya?” sapa sang istri tanpa basi basi.

Aku terhenyak bagaimana bisa perempuan ini tiba-tiba mengeluarkan kalimat itu. Kata “nya” yang sudah tentu ada objeknya.
Aku mendongakkan kepala, meraih tangannya kemudian salim kepadanya. Suaminya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, mungkin memang tidak ingin ambil pusing dengan keberadaanku.

Mungkin fikirnya, aku tidak apa-apa duduk di sana asalkan tidak mencuri apapun. Padahal, aku tengah mencuri waktu, untuk bisa bebas mengenang tanpa gangguan. Aku tidak tahu nama pasutri itu, tetapi, yang diajarkan oleh kedua orang tuaku bahwa menghormati seseorang yang lebih tua dariku adalah wajib.

“Eh, Mbak. Maaf. Saya akan segera pulang” jawabku sembari salim kepadanya.

“Tidak apa-apa, duduk di situ saja, selesaikan apa yang telah menjadi masa lalumu” jawabnya tenang.

Bgst.
Masa lalu apa yang dia maksud, bahkan aku dengannya belum sepenuhnya menjadi masa lalu. Kita hanya menjadi rumit setelah keputusannya pada hari itu.

“Saya Radima, maaf sudah memasuki halaman rumah ini dan duduk dibangku ini tanpa ijin” kataku sembari menunduk.

“Nadiva” dia mengulurkan tangannya.

“Kalau begitu saya pamit, Mbak”

“Duduk dulu. Kita bisa mengobrol, atau mungkin kamu sedang ada masalah?”

Tidak ada masalah antara aku dan dia, aku saja yang gemar mencari masalah untuk diriku sendiri. Menyakiti diri sendiri dengan dalih ingin berdamai dengan keadaan.

26/6/'20

Separuh Yang Tak UtuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang