3

14 0 0
                                    

Hari ini hari Minggu. Hari yang cocok untuk bermalas-malasan, selain libur kuliah hari ini aku juga libur kerja. Aku memilih bekerja atas dasar untuk membantu Ibu, meskipun ya hanya sedikit.

Aku bekerja di kedai es teh yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Alasanku bekerja karena ingin menabung dari hasil jerih payahku sendiri, selain karena aku tidak tega melihat Ibu.

Ibu seorang guru honorer yang mengajar disalah satu SMP yang berjarak kurang lebih 5 KM dari rumahku. Semenjak kepergian Ayah, aku bertekad untuk mencari uang sendiri agar tidak terlalu membebani Ibu. Aku harus bisa lulus tepat waktu meskipun aku harus mengorbankan jam tidurku. Lebih baik mengorbankan jam tidur, dari pada harus nambah semester depan.

“Ra, hari ini Ibu mau pergi ke rumah Bu Ike. Kamu baik-baik di rumah, ya. Ibu agak lama, mungkin pulang sore. Ada acara syukuran di rumah Bu Ike.”

“Iya. Gapapa, Bu. Aku juga mau tidur aja habis ini. Akhir-akhir ini kayak capek banget.”

“Ikhlas, Nak. Ibu tahu ini nggak mudah buat kamu.”

“Udah, udah. Ibu dah ditungguin tuh”

Ibu melangkah meninggalkanku, karena suara klakson mobil temannya sudah berbunyi di depan rumah. Aku segera berdiri dari sofa, kemudian salim kepadanya. Aku bingung mau ngapain hari ini selain tidur, mau keluar bosen lagian juga mau ke mana panas-panas begini. Tidak berselang lama ada sambungan telepon masuk diponselku, kulihat nama pengirimnya dan membutuhkan waktu lama, aku mengangkatnya,

“Hallo”

“Hai”

“Ngapain, Ra?”

“Nggak ngapa-ngapain, nih. Bosen. Dari tadi cuma rebahan.”

“Ibu ke mana?”

“Ke rumah Bu Ike, ada acara syukuran.”

“Kamu nggak ikut?”

“Lah, ngapain ikut. Nanti di sana malah disuruh ngurus anak temen-temennya Ibu.”

“Ra,”

“Hmmmmm”

“Ya udah”

“Mas,”

“Iya?”

“Udah dulu, ya. Aku mau tidur. Hehehe”

“Oh ya sudah. Selamat beristirahat.”

Aku langsung mematikan panggilannya. Aku tahu yang aku lakukan ini jahat,tetapi aku tidak mungkin bersikap ramah kepada Mas Dhiya’. Alih-alih ingin bersikap ramah bahkan kepada siapapun, aku takut Mas Dhiya’ salah mengartikan, aku takut dia berharap lebih. Entah kenapa sebegitu takut, mungkin memang aku saja yang terlalu percaya diri. Aku memang mempersilahkan dia masuk ke hidupku. Tapi, masih hanya sebatas masuk. Aku bahkan belum berpikir lebih jauh dari itu.

Seharian aku goleran di kasur. Rasanya enak banget, sudah lama aku memimpikan weekend seperti ini. Biasanya kalau weekend, ada saja kesibukan yang minta di-iya-kan, entah itu tiba-tiba ada tugas yang harus dikumpulkan Senin, bos yang tiba-tiba nyuruh masuk padahal hari Minggu, nganter Ibu ke rumah saudara, menemani Nafa curhat, dan masih banyak yang lain.

***

“Nafaa, Nafa, Nafa”

Sudah lebih dari tiga kali aku mengetuk pintu rumahnya, namun tidak ada sautan dari siapapun. Aku memang tidak menghubunginya terlebih dahulu, sengaja soalnya dia pasti selalu ada di rumah. Iya lah, memangnya jomlo mau pergi ke mana. Tidak berselang lama, terdengar suara pintu dibuka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Separuh Yang Tak UtuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang