Lampu-lampu di pinggiran jalan menghiasi perjalanan, motor bebek yang kupakai seakan berenang dengan santai. Terdengar hingar-bingar suara manusia yang saling bercakap di kursi yang terpasang di setiap sela-sela perjalanan. Entah apa yang ada di pikiran, keluar malam hanya untuk menikmati cahaya rembulan yang indah terpampang di langit sana.
Ada spot yang pas untuk menikmati sang rembulan, lantas aku bergegas memarkirkan motor dan segera bergerak menuju kursi yang kosong. Saat itu juga langsung saja ambil posisi rebahan dan meghapad langit untuk menikmati rembulan. Indah sekali ... kataku dalam hati.
Sejak kecil aku sangat suka sekali dengan yang namanya bulan dari bulan itu tiada hingga menampakkan diri dengan jelas di langit malam, tak ada rasa kecewa dalam diri saat melihat itu. Bapak pernah berkata bulan merupakan anugerah terindah yang tuhan berikan, bulan merupakan pusat dari sang malam. Tanpa bulan malam akan terasa hampa, maka dari itu jadilah seperti bulan, walau tanpa bintang sekalipun, bulan takkan berhenti memancarkan sinar yang menjadi pusatnya.
Bulan bagiku begitu indah namun tidak bagi wanita yang ada diseberang jalan sana, ia menangis. Kursi yang ia duduki terlihat dingin, suasana menjadi melankolis. Lantas karena memang sedari dulu, sifatku tak kuasa melihat wanita menangis maka ku cari warung untuk membelikan air mineral botol dan langsung menghampirinya.
"Permisi mba, wanita dilarang menangis," seruku sembari memberikan air mineral padanya.
Wanita itu lantas mengusap tangannya ke wajah untuk menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Rambutnya yang terurai menutupi wajah, segera ia kibas ke belakang, hingga terlihat wajah yang begitu suram untuk diperlihatkan. Walau begitu ia cukup manis setelah lesung dipipi serta gigi gingsul nya terlihat.
"Saya izin duduk mba."
Wanita itu hanya mengangguk.
"Oh iya, perkenalkan nama saya Cakrawala sebut saja Cakra dan ini minum dulu mba, siapa tahu jadi agak mendingan." Titahku pada wanita itu.
Wanita itu mengambil handphone yang ada di sakunya, lalu mengetikkan sesuatu dan menunjukkan padaku.
Terimakasih, nama saya Wulan.
Maaf merepotkan.
"Ohh hmm ... baiklah," menjawab dengan penuh kebingungan dan rasa penasaran.
"Maaf mba, apakah mba tidak bisa bicara?" tanyaku spontan.
Ia pun kembali mengetik.
Saya sudah beritahu nama saya, jangan panggil mba.
Saya bisa bicara, tapi tidak untuk hari ini dan selamanya.
Saya bergegas pulang. Terimakasih sekali lagi.
Setelah menunjukkan kata-katanya, lantas wanita itu beranjak dari kursi dan berlari tanpa kata-kata dari mulutnya.
"Wanita yang aneh," desisku.
Serta kata selamanya membuatku semakin penasaran, kenapa sampai bisa seperti itu? Kenapa ia tak mau berbicara? Ahh daripada kepikiran terus mending aku pun pergi dan kembali ke rumah, takutnya yang di rumah khawatir karena belum ku kasih tahu. Semoga ketemu lagi, wahai wanita yang membisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Membisu
Roman pour Adolescentsperkenalan kedua makhluk yang sedang mengalami peceklik dalam keluarga namun berbeda tanggapan. Sang lelaki bernama Cakrawala Putra lebih memilih bungkam pada keadaannya sehingga terlihat seperti selalu mengada ngada. Dan sang wanita yang bernama Nu...