Bagian 1

4 0 0
                                    

"Dia kembali," lirih wanita berbalut mukenah lusuh. Ia segera beranjak dari simpuh diiringi senyum penuh harap di wajahnya. Setiap petang sembari menunggu adzan Magrib berkumandang, telinganya awas akan setiap pergerakan.

Hari ini adalah petang ke enam belas dari penantian itu. Sekian  banyak rasa dan andai-andai berkecamuk di dada. Sesal, marah, kecewa, rasa bersalah, segalanya hadir silih berganti. Terkadang bahkan segalanya datang menyerbu serupa kerumunan demosntran.

Namanya Ninik, seorang janda dua anak yang telah berbulan-bulan diliputi kehilangan putra sulungnya. Diawali pertengkaran hebat antara mereka saat gerombolan unggas beterbangan pulang ke sarang. Pertengkaran itu menjadi awal dari sebuah perpisahan. Rona merah di langit hari itu menjadi petang permulaan dari penantian seorang ibu atas kepulangan anak lelakinya.

"Tidak ada yang kembali, Bu," ujar Ina, si bungsu sembari menggelengkan kepala dengan wajah sendu. Keduanya menunduk serentak tanpa aba-aba. Mereka menelan luka masing-masing. Ninik kembali bersimpuh di sajadah, menyimak panggilan salat yang mengudara sampai ke langit. Sementara Ina, gadis kecil bertubuh mungil berjalan gontai menuju kamar mandi. Disapunya kegundahan dengan air wudhu. Seperti halnya Ninik, Ina pun sangat bersedih kelihangan abang kesayangannya.

Petang telah berlari menyongsong malam. pintu-pintu keresahan semakin menganga di hati siapa saja yang sedang merasai kegundahan. Pada sebuah kamar yang menyatu di dalam bangunan sederhana semi permanen, isak sunyi kembali terdengar seperti malam-malam sebelumnya, usai pertengkaran yang menyisakan luka.

Ruangan segi empat itu masih sama seperti dulu. Dipan kayu dengan sebuah kasur tipis beralaskan sprei polos berwarna biru tua. Di sudut ruangan teronggok meja belajar kayu, bersisian dengan rak yang sengaja digantung sebagai tempat menyimpan buku pelajaran dan bacaan lainnya. Cukup rapi sebagai kamar seorang anak laki-laki.

Bersama sesak di dada, Ninik melangkah ke arah rak kayu yang berdiri tegak berhadapan dengan meja belajar. Di sana tersusun rapi pakaian putra tercinta. Diambilnya sehelai baju kaus warna maroon yang terlipat. Itu adalah favoritnya.

"Duh, Bujang...," isaknya semakin menjadi saat menenggelamkan wajah pada kain itu. Ninik mencium begitu dalam, seolah sedang menghirup aroma tubuh sang putra. Didekapnya ke dada, berharap kerinduan untuk memeluk si bujang terobati.

Menyaksikan tingkah Ninik yang dramatis, Ina yang sedari tadi duduk di dipan turut menangis. Dihampirinya sang ibu. Perlahan ia peluk dengan penuh kasih sayang. Haru biru memenuhi seisi kamar.

"Ibu yang salah. Ini benar-benar kesalahan ibu. Seandainya ibu tidak terlalu keras padanya," sesal Ninik di sela isak.

Beberapa waktu sejak hari bersejarah itu, ia selalu saja menyalahkan dirinya. Dirinya merindukan sang putra. Wanita berusia hampir setengah abad ini hanya ingin anak lelaki itu kembali ke rumah. Pulang ke pangkuannya.

Bu, apakah abang benar-benar tidak akan pulang lagi? Ina juga merindukan abang. Ibu juga merindukan abang, kan?" Ninik membelai rambut sebahu Ina. Dibalasnya erat pelukan gadis kecil itu. Ia bahkan tidak tahu jawaban dari pertanyaan polos Ina. Bagaimana ia akan tahu jawabannya, sementara di mana anak bujangnya saja dia tak mengetahui.

"Ina sudah mengerjakan PR?" tanya Ninik sembari melepaskan pelukan. Ina hanya menggelengkan kepala. Mata bulatnya tampak layu menatap wajah Ninik. Sejak kepergian abangnya, dia kekurangan perhatian. Ibu lebih sering melamun daripada berbicara. Wanita itu semakin pilu dibuatnya.

"Maafkan ibu, sayang." Dikecupnya dahi dan pipi Ina. Mengambanglah senyum di wajah mungil si gadis kecil.

Ina hanya gadis kecil yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Ia memang sudah memahami segala yang terjadi. Dia bahkan menyaksikan sendiri pertengkaran ibu dan abangnya yang berujung senyap dan lenyap. Akan tetapi, sebagai kanak-kanak tentu saja akal sehatnya  belum dapat menerima keadaan. Bathinnya pun demikian.

Sebagai gadis kecil bungsu, ia masih menginginkan perhatian. Masih ingin rambutnya dikepang ibu setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Masih butuh bimbingan saat mengerjakan PR. Dia juga selalu berharap bisa bermanja dan bercerita dengan ibunda.

Kasihan dia. Ina tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya, suami Ninik meninggal karena sakit paru-paru yang bertahun di deritanya. Saat itu usia Ina masih kurang dari setahun.

Beberapa bulan lalu, ia yang tidak mengerti apa-apa tentang ayahnya masih bisa berbahagia. Keceriaan masih menyertainya. Sentuhan lembut seorang ibu penuh ia miliki. Bahkan gadis sekolah dasar itu merasa sempurna memiliki seorang abang yang sangat sayang padanya.

Rumah semi permanen mereka yang sederhana begitu berseri. Canda tawa kedua adik  beradik, seruan ibu mengajak makan, begitu indah bersahut-sahutan di keluarga itu. Setiap Magrib dan Subuh mereka juga selalu melaksanakan shalat berjamaah.

Usai shalat Magrib, Ina akan dibimbing mengaji oleh abangnya. Setelah itu mereka akan makan malam kemudian belajar bersama, dan Ninik sebagai ibu selalu mendampingi putra putrinya. Sebelum beranjak tidur, mereka akan bercerita dulu tentang sejarah dan kisah-kisah Nabi. Sungguh harmonis.

"Ibu, Ina ngantuk." Ina menggosok matanya yang merah karena mengantuk. Sebelumnya ia telah menguap beberapa kali sebelum akhirnya menyelesaikan PR. Dengan mata sembab Ninik berusaha tersenyum dan mengantarkan Ina ke kamar tidur.

Ninik memasang anti nyamuk dan membaringkan tubuh di samping Ina. Ditariknya selimut hingga menutupi sebagian tubuh mereka berdua. Ina membelai pipi Ninik dengan lembut. Ninik pun mengecup tangan kecil itu.

"Ayo sayang, berdoa dulu sebelum tidur." Ninik dan Ina menadahkan tangan mereka. Usai merapalkan doa sebelum tidur Ninik menyium dalam dahi putrinya. Tak berapa lama gadis kecil itu telah jatuh dalam lelap.

Malam semakin usang. Gemintang di luar sana mengedipkan rayu pada dunia. Demikian pula sunyi yang tak henti merayu ibu yang kehilangan anak lelakinya.

Selarut itu Ninik belum juga tertidur. Sudah beberapa kali ia mencoba berpejam namun bayangan petang berbulan lalu kembali datang. Serupa mimpi buruk sehingga ia terkadang takut memejamkan mata.

"Aku akan pergi. Entah akan kembali atau tidak. Lalu beban ibu akan berkurang." Kalimat terakhir dari sang putra sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah, Ninik, dan Ina. Kalimat itu bagai hantu yang menggerogoti setiap malam Ninik saat Ina sudah tidur.

Matanya menerawang menatap langit-langit. Kamar jadi mencekam. Di dinding menari banyang-bayang dua orang yang sedang berseteru. Suara-suara pertengkaran memekakkan telinganya.

Air mata Ninik mengucur deras membasahi bantal. Hatinya begitu dirundung kedukaan. Ditahannya tangis yang hendak pecah. Takut itu hanya akan membangunkan Ina yang besok pagi harus sekolah.

Perlahan Ninik turun dari tempat tidur. Berwudhu agar tenang hatinya. Menunaikan shalat malam bersama tangis. Dibisikkannya doa-doa. Bermunajat kepada yang yang Maha Pengabul doa. Dikeluhkesahkannya segala rindu. Ia sujud memohon kepada Allah. Berharap agar suatu hari putranya kembali dengan segenap cinta dan berkumpul seperti hari-hari yang lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gurat Luka (Tentang Sebuah Tunggu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang