𝙐𝙨

265 83 20
                                    


Pernah ada masa di mana Wildan menemukan Sasha di balik pintu yang menyambutnya. Di waktu petang saat ibunya memutuskan untuk menitipkan dirinya pada keluarga asing yang tak ia ketahui. Satu-satunya hal yang pernah ia dengar adalah mereka teman ibu. Sore ketika pertama kali ia menatap netra coklat yang bersinar, pipi merah muda yang berseri-seri, senyum mengembang yang kiranya takkan luntur atau segala semangat, ceria, dan energi positif yang dimilikinya. Hal itu terasa masuk akal ketika Wildan mendengarkan bibir manis gadis itu dengan riang menjelaskan arti namanya.

"Sorcha untuk berseri-seri dan Nandita agar kita selalu bahagia!"

Empat dari lima jari kecil itu ditekuk membiarkan kelingkingnya menggantung di udara. "Ayo kita berteman!" seru gadis itu. Wildan dengan ragu membalasㅡ mengikat kelingkingnya.

Semuanya masih bisa diputar jelas oleh memori Wildan meski sudah lima belas tahun berlalu.











Jemarinya mengangkat punggung buku yang sedari tadi menutupi wajahnya. Melirik ke arah Sasha yang malah tertidur dengan komputer jinjing di pangkuannya. Kepalanya bersandar di jendela kereta. Bibirnya sedikit terbuka menampakkan giginya sedikit. Nafasnya teratur, sepertinya Sasha tidur nyenyak.

Wildan bergerak pelan menggeser kepala Sasha untuk menambahkan bantal kecil agar Sasha bersandar lebih nyaman. Menatap wajah itu dari jarak yang lebih dekat. Mengamati paras ayu itu. Jantungnya berdetak tak karuan, pipinya memanas, Wildan sadar bahwa ia tak boleh jatuh lebih dalam lagi. Seketika ia membuang pandangannya. Sial, seharusnya tak jadi begini.

Ia selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tak jatuh lebih dalam kepada Sasha. Namun sebagian dari dirinya benar-benar ingin menghapus segala pembatas di antara mereka, mengungkapkan perasaannya sehingga ia bebas dari siksaan ini. Tapi, ia juga belum sanggup akan konsekuensi ke depannya.



Pernah dahulu di awal semester pertamanya di kelas sepuluh Wildan bertanya-tanya tentang hal aneh dalam dirinya. Ia tak mengerti apa yang salah dari dirinya ketika melakukan hal-hal kecil bersama Sasha seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mengelap kaca jendela di minggu pagi atau bahkan menunggu bus bersama sepulang sekolah. Ia merasa ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya sampai dirinya rela pergi ke Perpustakaan kota untuk meniti buku Sains tentang serangga cantik yang melayang di kantung makanannya.

Hal itu tak pernah ditanggapi oleh buku Sains yang cerdas. Jawaban yang ia cari tak sengaja ia temukan secara ajaib dari mulut Horace, teman lamanya yang eksentrik. Horace yang tengah menggilai novel roman itu dengan lantang berkata, "Namanya jatuh cinta."

Lagi, Wildan masih sukar menerima pendapat Horace. Apa alasan yang lebih rasional untuk dikatakan cinta? Bagaimana cinta dapat diukur? Atau secepat apa cinta datang?

Pikiran Wildan terlalu bercabang hingga hanya dibalas tepukan keras di punggungnya oleh Horace. Terlalu ribet.

Kembali kepada perasaan Wildan di masa itu. Setiap dirinya bersama Sasha, jantungnya berdetak terlalu kencang membuat dirinya khawatir namun di saat bersamaan merasa excited. Wildan tak bisa mengatasi senyumnya yang tak mau lepas dari wajah dinginnya. Dirinya hampir gila ketika ia rasanya ingin menghujani afeksi tanpa henti pada Sasha.

Namun, semuanya terasa canggung begitu Sasha membuat jarak antara mereka usai sikap Wildan yang berubah. Sadar, Wildan menghentikan tindakannya.

Selalu mengatur ulang nafasnya, menjaga tingkahnya mencoba tak bersikap berlebihan demi mengurangi jarak yang tercipta ketika dirinya mendekat.


Sejak hari itu, doa Wildan adalah untuk tidak jatuh cinta.

Soulmate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang