𝙈𝙖𝙣

254 58 16
                                    

Pernah ada kisah dimana Sasha mendengar tangisan Wildan dimalam hari. Tepat dihari pertama mereka bertemu. Sasha mengira Wildan adalah bocah dingin yang tak goyah bahkan ketika angin meniupnya kencang.
Wildan hanya diam dan tersenyum ketika ibunya mengatakan agar dirinya tetap tinggal di rumah Sasha dalam waktu panjang yang masih belum bisa diprediksi durasinya. Sasha memperhatikan mata sipit itu menatap semuanya biasa tanpa ada perubahan ekspresi. Namun Sasha salah, malam itu ia tak sengaja mendengar tangisan Wildan ketika lewat di depan kamarnya.

Hari itu Sasha mengerti ada banyak hal yang begitu berat bagi Wildan untuk dibebankannya seorang diri. Maka hari itu Sasha dengan sengaja mengajukan diri untuk membantu Wildan membawa bebannya.

Sasha hanya diam sambil memeluk bocah yang lebih pendek darinya itu. Mendengarkan tiap-tiap kata yang lolos dari bibir bocah itu ketika menceritakan tentang orang tuanya yang berpisah. Hari itu Sasha semakin rapat memeluk Wildan.

Namun, ada lebih banyak kisah tentang Wildan yang berdiri membelakanginya menjadi benteng agar Sasha bisa menangis sepuasnya tanpa didengar orang lain. Selalu ada scene dimana Sasha mendapati tatapan hangat Wildan disaat dirinya merasa sedih.

Sasha bohong kalau ia bilang Wildan bukanlah pahlawannya. Memandangi punggung tegap itu yang selalu menjaganya.

'Sha'

Entar berapa ribu kalipun ia mendengar suara itu memanggil namanya, takkan meninggalkan Sasha dengan rasa muak.

Posisi permanen Wildan adalah di depan Sasha. Memanggil namanya, mengindahkan perkataannya, menangguk meski tengah fokus pada bacaannya tanpa menoleh ke arah Sasha. Itu tak jahat. Sasha malah senang. Katanya punggung itu sangat keren. 

Maka Sasha juga nyaman berada di posisi permanennya untuk berjalan di belakang Wildan menatapi pemuda jangkung yang enggan menatapnya kembali. Setidaknya sampai di umurnya yang ke-16 ia merasa itu menyenangkan.

Punggung Wildan yang tak berputar menghadapnya terasa agak menyebalkan ketika Sasha tak tahu perasaan menggetarkan apa yang muncul di hatinya tiap bersama Wildan.

Mona berbisik bahwa itu jatuh hati. Sasha menolak keras dengan wajah semerah tomat berbicara gagap mengatakan bahwa Mona salah kaprah. Mana mungkin.

Datang lagi hari yang dimana Sasha menemukan Wildan yang duduk bersandar pada rak buku perpustakaan mengintil bacaan Wildan dari sela-sela buku. Mengulas senyum yang tak ia sadari kapan datangnya. Begitu terus selama setahun penuh. Terus seperti itu hingga dua belas bulan habis dimakan waktu.

Wildan mulai membuka kepalannya memenunjukkan telapak tangan ke arah pengendara agar mereka berdua bisa segera menyebrang. Sasha tak sadar.

Cubitan kecil pada lengannya membuatnya terbangun, terima kasih kepada Wildan atas  kasih kalau tidak Sasha bisa saja berlari mengelilingi lapangan akibat tidur di kelas.

Lagi, Sasha tak sadar akan hal kecil yang pernah ia tunggu.

Wildan berpindah dari posisinya berjalan mundur menyeiramakan langkah mereka. Wildan tepat berada di sebelahnya melangkah beriringan.

Hal yang Sasha takutkan pasal perhatian lebih yang ia dapat dari Wildan memaksanya melangkah mundur beberapa petak dari posisinya semula. Egois sekali, sekarang ia hanya ingin menatap punggung itu.








Ia takut yang terjadi di antara teman-temannya akan berakhir sama dengannya. Menutup paksa hatinya mengusir sosok Wildan dari sana.

Ketika kau jatuh hati, semua jalan berbahaya. Terbang untuk sementara melintasi langit penuh mimpi. Setelahnya tak ada lagi yang bisa kau lakukan selain jatuh.

Semua orang berakhir mengenaskan ketika jatuh hati. Perasaan berbunga-bunga yang muncul begitu kita melangkah satu ubin mendekat bisa menjadi pemisah paling efektif. Sasha tak mau hubungannya dengan Wildan rusak sewaktu-waktu setelah ia mengenal jatuh hati.

Menyembunyikan suara yang selalu bersorak ketika Wildan berada di dekatnya agar sang pencuri hati tak mendengarkan debar jantungnya. Sasha hebat, melakukannya selama lima tahun.













Hari ini selesai. Ruang itu terbuka, suara yang ia pendam ia keluarkan melengking memenuhi kamar penginapannya.

Lengan itu meraba tempat tidur tetap dalam posisi tubuh telungkup. Mencari benda petak yang sedari tadi berbunyi. Mengangkat panggilan dengan tangan bergetar. Sepuluh detik pertama tak terdengar apapun.

Jemarinya yang gugup hampir saja menekan tombol merah pengakhir panggilan sebelum suara nafas dari seberang sana terdengar.

"Sha, membelakangi kamu itu ada alasannya. Kapan kamu mau dengar?"

Soulmate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang