BAGIAN 1

508 19 0
                                    

Terlalu banyak rahasia alam yang tak bisa diungkapkan, apa lagi diterima oleh akal sehat manusia biasa. Barangkali orang bisa gila bila memikirkan misteri yang terkandung di alam jagat raya ini. Namun tidak sedikit orang yang mencoba mengungkapkan rahasia jagat raya dengan berbagai macam cara. Bahkan mereka rela mengorbankan apa saja untuk mendapatkan sedikit rahasia yang terkandung di alam ini. Nyawapun tak akan ada harganya lagi.
Siang ini udara terasa begitu panas menyengat, langit terlalu cerah, sehingga tak ada awan sedikitpun menggantung membatasi sinar matahari yang bersorot tajam bagai hendak membakar semua yang ada di mayapada ini. Begitu teriknya cahaya sang surya, membuat pepohonan dan rerumputan meranggas kekurangan air. Sumber-sumber air bagaikan kering, tak lagi memiliki persediaan sumber utama kehidupan seluruh mahluk di bumi ini.
Namun teriknya sinar matahari, tak menghalangi empat orang laki-laki yang berjalan agak cepat mendaki sebuah lereng bukit berbatu dengan pepohonan meranggas kering. Angin berhembus kencang, seakan-akan hendak menghempaskan empat orang itu. Namun mereka tetap mengayunkan langkahnya dengan tegar mendaki bukit yang hampir gersang itu. Tampak yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berjubah putih dengan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan tiga orang dibelakangnya masih muda-muda. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahunan.
"Cepat sedikit jalannya. Sebentar lagi gelap," kata laki-laki berjubah putih.
Tiga anak muda itu mempercepat langkahnya, meskipun mulai agak terseok, karena makin sukar untuk didaki. Terlebih angin berhembus semakin kencang, menerbangkan pepohonan dan bebatuan. Beberapa kerikil mulai menghujani mereka. Namun keempat orang itu terus berjalan dengan tegar, walaupun mulai terlambat, terseok-seok.
"Awas...!" tiba-tiba orang tua berjubah putih itu berteriak keras.
Pada saat yang sama, sebongkah batu sebesar kerbau, menggulir deras dari atas bukit. Suara gemuruh membuat hati ketiga anak muda yang berjalan di belakang orang tua itu, jadi bergetar. Namun bergegas mereka berlompatan menghindari longsoran batu yang tiba-tiba saja muncul tanpa diduga sama sekali.
"Aaaakh...!" mendadak terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
"Pardi...!" salah seorang anak muda itu berteriak saat melihat temannya terhempas jatuh tertimpa sebongkah batu yang cukup besar.
Tubuhnya bergelimpangan turun ke bawah bersama batu-batu yang berguguran. Sementara orang tua berjubah putih itu tetap berlompatan menghindari batu-batu yang berguguran. Sedangkan dua orang pemuda yang tersisa, mulai kewalahan. Batu-batu itu seperti tidak akan pernah habis berguguran.
Namun guguran batu itu akhirnya berhenti juga. Dua anak muda yang terengah dengan keringat bercucuran, memandang ke bawah bukit. Tampak satu orang menggeletak dengan kepala hancur terhimpit sebongkah batu besar. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu memandangi puncak bukit yang tampaknya angker dan rawan.
"Ki, lebih baik kita pulang saja," kata salah seorang anak muda yang mengenakan baju biru agak ketat. Sebilah golok terselip dipinggang.
Laki-laki tua berjubah putih itu berpaling. Dia menatap tajam pada anak muda yang menganjurkannya kembali pulang tadi. Anak muda itu langsung menunduk, tak sanggup menentang sorot mata yang begitu tajam menusuk.
"Pengecut...!" desis orang tua itu. "Aku mendidik kalian bukan untuk menjadi pengecut!"
"Tapi, Ki...," pemuda berbaju biru itu ingin menyanggah. Namun suaranya tertahan ditenggorokan.
"Sudah! Ayo jalan terus...!" sentak orang tua berjubah putih itu.
Kedua anak muda itu hanya saling berpandangan saja. Mereka sama-sama menyeka keringat yang bercucuran membasahi wajah dan leher. Seluruh baju sudah basah melekat menyatu dengan tubuh. Sementara laki-laki tua itu sudah kembali melangkah mendaki bukit berbatu. Mereka berjalan agak cepat, agar tidak tertinggal jauh oleh orang tua berjubah putih itu. Napas mereka semakin tersengal. Dan keringat pun terus bercucuran. Beberapa kali kedua anak muda itu menggerutu dan berhenti berjalan. Namun sebentar kemudian meneruskan perjalanannya lagi.

***

Malam sudah demikian larut, kegelapan menyelimuti seluruh mayapada ini. Tak ada sedikitpun terlihat cahaya bulan menerangi langit begitu kelam, tanpa bulan maupun bintang menggantung. Angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Namun dinginnya udara malam bagai tak terasakan oleh seorang pemuda yang duduk bersila didekat seonggok api unggun.
Cahaya api yang memerah jingga, seakan tidak sanggup menghalau kegelapan malam. Namun kehangatannya mampu mengusir sedikit udara dingin yang menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pemuda yang mengenakan baju warna putih tanpa lengan itu, menambahkan sepotong ranting kering ke atas api. Suara menggeretek terdengar begitu api melalap ranting yang dilemparkan ke atasnya tadi.
"Hhhh...! Kau tidak tidur, Kakang...?"
Pemuda berbaju rompi putih itu menolehkan kepalanya pada seorang gadis berbaju biru muda yang menggeliatkan tubuhnya. Gadis itu masih terbaring tidak jauh di sampingnya. Hanya tumpukan daun-daun kering yang menjadi alas tidurnya.
"Masih terlalu larut, Pandan. Kenapa bangun?" lembut sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Dari tadi aku tidak bisa tidur," sahut gadis itu seraya bangkit duduk.
Gadis berbaju biru muda itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal di dalam rimba persilatan dengan nama si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi itu sudah tidak asing lagi. Dialah Pendekar Rajawali Sakti yang nama aslinya adalah Rangga.
Pandan Wangi menggeser duduknya lebih dekat pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia duduk dengan memeluk lutut, seakan hendak mengusir udara dingin yang menggigit seluruh kulit tubuhnya. Panda Wangi mengambil beberapa ranting kering, kemudian menambahkan pada api unggun di depannya. Api langsung bertambah besar.
"Perasaanku ada orang lain di sini, Kakang," kata Pandan Wangi setengah berbisik.
"Aku sudah merasakannya sejak tadi," sahut Rangga.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling. Sedangkan Rangga kelihatan masa bodoh saja. Pandan Wangi menggeser lagi duduknya hingga merapat ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Kehangatan tubuh Rangga begitu terasa saat kulit tangan mereka bersentuhan. Rangga malah mengambil tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat. Seolah dia ingin membagi kehangatan dengan gadis itu.
"Biarkan saja, selama dia tidak mengganggu," bisik Rangga.
"Tarikan napasnya begitu pelan, Kakang." kata Pandan Wangi lagi.
"Sejak tadi sudah begitu." lagi-lagi Rangga menyahuti dengan kalem.
"Sebaiknya kita periksa. Kakang," usul Pandan Wangi.
"Sudahlah. Pandan. Tidak usah dihiraukan. Barang kali dia juga sedang istirahat seperti kita.
Pandan Wangi tidak mau mempercayai kata-kata Rangga. Dia selalu penasaran jika belum mengetahui dengan pasti. Si Kipas Maut itu bangkit berdiri.
"Mau apa. Pandan...?" tanya Rangga.
"Aku akan melihatnya," sahut Pandan Wangi.
Dan sebelum Rangga sempat mencegah, Pandan Wangi sudah melesal cepat bagaikan kilat ke arah yang dicurigainya. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja, si Kipas Maut sudah tidak terlihat bayangan tubuhnya.
"Kakang...! Cepat ke sini...!" terdengar teriakan Pandan Wangi yang keras.
"Heh...?" Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat ke arah Pandan Wangi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga, sehingga dalam waktu sekejapan mata, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi.
Rangga agak tercenung begitu sampai ke dekat Pandan Wangi. Tampak gadis itu tengah memeriksa seorang laki-laki berusia lanjut yang menggeletak di tanah dengan napas lemah sekali. Dada yang kurus kering, hampir tak bergerak sama sekali. Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri begitu Rangga sampai. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera menggantikannya.
"Seperti terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi sekali, Kakang," kata Pandan Wangi menduga-duga.
"Cukup sempurna," desah Rangga seraya berdiri.
"Pasti sudah lama berada di sini, Kakang," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga memandangi gadis itu, sedangkan yang dipandangi malah merayapi laki-laki tua yang menggeletak hampir tak bernapas lagi. Tak terlihat gerakan sedikitpun pada dadanya. Bahkan Pandan Wangi tidak lagi mendengar tarikan napas yang lemah. Gadis itu berpaling memandang pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia sudah meninggal," kata Rangga pelan disertai hembusan napas yang panjang.
"Kenapa dia ada di sini...?" gumam Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Tak ada sahutan sedikitpun dari pertanyaan yang agak menggumam itu. Sementara Rangga sudah duduk di batang pohon yang tumbang. Pandan Wangi masih merayapi laki-laki tua berbaju putih dengan ikat kepala yang putih juga. Tak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tapi si Kipas Maut tahu kalau luka dalam akibat pukulan tenaga dalam sangat tinggi yang menewaskannya. Dan Rangga mengatakan pukulan itu hampir mencapai kesempurnaan.
Itu berarti orang yang menewaskan laki-laki tua ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Pandan Wangi kembali berpaling memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia melangkah menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu. Pandan Wangi menempatkan dirinya di samping Rangga.
"Kau kenal siapa dia, Kakang," tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya menggelengkan kepalanya saja. Pandangannya tak berkedip menatap ke satu arah. Pandan Wangi melayangkan pandangan matanya ke arah yang sama. Kemudian dia kembali menatap pemuda tampan di sampingnya. Dia tidak mengerti, kenapa Rangga memandangi puncak bukit yang kelihatan gersang menghitam itu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah kurang yakin.
"Kau merasakan sesuatu, Kakang?"
"Aku tidak tahu, Pandan. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak." pelan sekali suara Rangga.
Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau Rangga sudah mempunyai satu perasaan di dalam hatinya, pasti akan terjadi sesuatu. Namun Pandan Wangi belum bisa menduga-duga. Sedangkan Rangga sendiri kelihatannya masih belum yakin dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini.
Mereka hanya diam saja membisu dengan hati dan pikiran sibuk sendiri-sendiri. Beberapa kali Pandan Wangi mendengar tarikan napas Pendekar Rajawali Sakti yang terasa berat, seakan-akan hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam rongga dadanya.
Sementara malam semakin bertambah larut. Udara dingin tak lagi mereka rasakan. Mereka masih larut dalam kebisuan yang panjang. Sedangkan Rangga terus memandang ke arah puncak bukit di depan sana. Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak mengerti dengan sikap Rangga yang mendadak saja berubah.
"Kembali lagi saja, Kakang...," ajak Pandan Wangi yang mulai merasakan dinginnya hembusan angin malam.
Rangga tidak menjawab. Tapi dia bangkit berdiri juga dan terus saja berjalan meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Belum juga jauh mereka berjalan, mendadak saja terdengar suara tawa menggelegar.
"Ha ha ha ha...!"
Suara tawa itu terdengar keras sekali, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Saat itu juga Pandan Wangi merasakan telinganya jadi sakit mendenging. Sedangkan Rangga segera menggerakkan tangannya di depan dada seraya menahan napas beberapa saat.
"Berdiri di belakangku. Pandan," kata Rangga agak mendesis.
Bergegas Pandan Wangi menggeser kakinya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan tangannya ke samping. Beberapa kali kedua tangan yang merentang itu bergerak turun naik dengan cepat, kemudian menegang kaku.
"Aji Bayu Bajra...! Yeaaah...!" teriak Rangga tiba-tiba dengan keras sekali.
Mendadak saja bertiup angin yang kencang dan dahsyat. Seluruh hutan ini bergetar bagai terlanda badai topan yang sangat dahsyat sekali. Tapi Pandan Wangi tidak merasakan sedikitpun badai yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti. Dan telinganya tidak lagi berdenging.
Beberapa saat suara tawa itu masih juga terdengar. Namun semakin lama semakin memudar. Kemudian lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya suara tawa itu, Rangga menarik ajiannya kembali. Dan angin badai itupun berhenti seketika.
Meskipun Pandan Wangi sudah beberapa kali menyaksikan Rangga mengerahkan Aji Bayu Bajra yang dahsyat itu, dia masih juga tercengang melihat hasilnya. Hutan disekitarnya porak-poranda bagai baru saja diamuk ribuan gajah. Pohon-pohon bertumbangan, dan batu-batu terbongkar pecah dari tanah. Pandan Wangi memandangi sekitarnya dengan mulut sedikit terbuka. Dia benar-benar kagum dengan kedahsyatan dari Aji Bayu Bajra itu. Pandan Wangi tidak bisa membayangkan jika ajian ini dipergunakan untuk menyerang orang. Tentu akan berpentalan seperti kapas.
"Jangan jauh-jauh dariku, Pandan," kata Rangga setengah berbisik.
"Iya," sahut Pandan Wangi.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia mengerahkan Aji Pembeda Gerak dan Suara. Namun yang didapatkan hanya desiran angin saja. Sedikitpun dia tidak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan. Bahkan saat dia mengerahkan Aji Tatar Netra pun, tak ada yang bisa dilihat, kecuali kegelapan semata. Pendekar Rajawali Sakti menggumam perlahan. Dia mengetahui kalau orang yang memperdengarkan suara tadi, memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dari suara tawanya saja tadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan adanya pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai tingkat kesempurnaan. Hanya saja, dia agak heran juga. Karena suara tawa itu langsung lenyap begitu dia mengerahkan Aji Bayu Bajra.
"Tidak ada siapa-siapa, Kakang," bisik Pandan Wangi hampir tak terdengar.
"Hh..." Rangga hanya menggumam kecil. Meskipun dia tidak mengetahui adanya seorang pun di sekitar tempat ini, namun kewaspadaannya tak bisa diabaikan begitu saja. Dia yakin, kalau ada seseorang tidak jauh dari tempat ini, hanya saja dia tidak bisa menemukannya, meskipun sudah menggunakan dua ajian untuk mengetahuinya.
Sssing...!
Tiba-tiba saja Rangga mendengar suara desiran halus dari arah kiri. Cepat dia mendorong Pandan Wangi ke belakang dan menarik tubuhnya sedikit ke belakang. Secepat itu pula, tangannya bergerak cepat mengibas ke depan dada.
Tap!
"Hap...!"
Entah apa yang terjadi, tampak Rangga terhuyung sedikit ke kanan. Namun dia cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, langsung dia melentingkan tubuhnya keudara, begitu terlihat cahaya kuning kehijauan melesat bagai kilat kearahnya.
Cahaya kuning kehijauan itu lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan langsung menghajar sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping. Suara ledakan dahsyat terdengar sehingga bumi yang dipijak serasa bergetar bagai diguncang gempa.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya ke tanah. Dia mengangkat tangan kanannya ke depan muka. Kedua kelopak matanya agak menyipit begitu melihat sebuah benda kecil seperti jarum terselip di antara kedua jari tangannya. Benda yang berwarna hitam pekat, sehingga tidak bisa dilihat jelas dalam keadaan gelap seperti ini.
"Hmmm...," Rangga bergumam kecil. Dia merasakan benda hitam ini mengandung racun yang dahsyat dan sangat mematikan sekali. Pendekar Rajawali Sakti menjentikan jarum beracun hitam itu. Benda beracun itu meluncur deras, dan menancap ke batang pohon yang tidak jauh di depan Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu menggumam saat melihat pohon itu mengepulkan asap. Lalu perlahan hangus jadi arang, daun-daun berguguran. Sebentar kemudian, pohon itu hancur jadi debu.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana kalau benda beracun itu sampai mengenai manusia. Pohon yang begitu besar, bisa hancur jadi debu hanya karena tertancap sebatang benda kecil berbentuk jarum. Rangga melirik Pandan Wangi yang berada tidak jauh darinya. Sedangkan Pandan Wangi sendiri masih memandangi pohon yang sudah lenyap menjadi debu. Entah apa yang ada di dalam benak Pandan Wangi. Yang jelas, dari sinar matanya memancarkan kengerian yang amat sangat melihat pohon itu jadi debu, hanya karena terkena sebuah benda kecil berwarna hitam.
"Hati-hati, Pandan. Orang ini mempunyai kemampuan yang tinggi sekali," kata Rangga memperingatkan.
Pandan Wangi menyambuti dengan desahan napas saja. Sementara suasana malam semakin terasa senyap, apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya bisa menunggu dengan penuh kewaspadaan. Memang tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu.

***

125. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Candi TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang