BAGIAN 3

291 14 0
                                    

Hati-hati sekali Pandan Wangi membaringkan laki-laki tua berbaju kuning gading di atas pembaringan. Tidak jauh di belakangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti yang hanya memandangi saja. Pandan Wangi membalikkan tubuhnya. Pandangannya langsung tertumbuk pada pandangan pemuda berbaju rompi putih.
"Jangan memandangku begitu, Kakang," ujar Pandan Wangi jengah.
"Persoalan apa yang kau bawa, Pandan?" tanya Rangga seraya memandang pada laki-laki tua yang terbaring bagai tidur pulas.
"Orang tua ini dikeroyok. Apa aku salah kalau menolongnya, Kakang? Kau kan sering bilang kalau kita harus menolong siapa saja yang membutuhkan," kata Pandan Wangi tidak ingin disalahkan.
"Kau tahu siapa dia?" tanya Rangga lagi.
"Dia tadi sempat bilang kalau namanya Ki Sarpa. Dia dikeroyok orang-orang Partai Tongkat Putih, Kakang," sahut Pandan Wangi menjelaskan.
Rangga semakin tajam menatap gadis itu. Agak memerah telinganya mendengar nama Partai Tongkat Putih disebut barusan. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa itu Partai Tongkat Putih. Satu Partai silat yang beraliran hitam dengan segala tindakannya yang sangat merugikan orang banyak. Sudah sering Rangga mendengar sepak terjang Partai tongkat Putih. Tapi dia belum pernah berurusan dengan Partai hitam terkuat di wilayah kulon ini.
Meskipun jumlah anggotanya tidak banyak, tapi rata-rata memiliki kemampuan yang tinggi. Dan tokoh-tokoh yang berdiri di dalamnya tidak bisa dianggap enteng. Memang diakui kalau tempat tinggal Partai Tongkat Putih tidak ada yang mengetahui sampai sekarang ini, sehingga sukar bagi kaum pendekar beraliran putih untuk memberantas sepak terjangnya yang selalu merugikan itu.
"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk mencari perkara dengan mereka. Aku juga tadinya tidak tahu kalau mereka orang-orang Partai Tongkat Putih," kata Pandan Wangi bernada agak menyesal. "Tapi aku hanya ingin menolong orang tua ini saja, Kakang," lanjut Pandan Wangi membela diri juga.
"Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu," sahut Rangga.
Pandan Wangi baru bisa tersenyum. Memang segala sesuatu akan mengandung resiko. Dan gadis itu menyadari akan resikonya. Dengan begini, dia sudah membuka tali pertentangan dengan Partai Tongkat Putih. Tak mungkin orang-orang Partai Tongkat Putih akan diam begitu saja. Hal ini sangat disadari Pendekar Rajawali Sakti. Apa boleh buat..., semua sudah terjadi. Dan mereka harus menghadapi segala kemungkinan yang pasti akan terjadi nanti.
"Bagaimana dia bisa bentrok dengan orang-orang Partai Tongkat Putih, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Ki Sarpa belum sempat menjelaskan, Kakang. Dia keburu pingsan," sahut Pandan Wangi.
"Dia terluka?"
"Tidak begitu parah. Hanya luka dalam ringan," sahut Pandan Wangi. "Aku sudah memeriksanya dan memberikan sedikit hawa murni. Sekedar untuk mencegah meluasnya luka dalam, Kakang."
"Itu pun sudah cukup, Pandan. Kalau dia memiliki kemampuan yang tinggi, pasti bisa mengatasi luka dalamnya. Mudah-mudahan saja hawa murninya terlatih dengan baik," ujar Rangga.
Lagi-lagi Pandan Wangi tersenyum. Dia memang sudah menduga kalau Rangga tidak akan marah. Pendekar Rajawali Sakti memang cukup bijaksana, dan bisa memandang segala persoalan dari sudut yang jauh. Meskipun menyadari akan resikonya yang tinggi, tapi Rangga cukup bijaksana untuk memberikan kebebasan pada Pandan Wangi menolong orang tua yang bernama Ki Sarpa itu.
Rangga mengayunkan kakinya ke luar dari kamar itu. Sedikit dia membuka pintu, kemudian menutupnya kembali. Sedangkan Pandan Wangi menghempaskan dirinya, duduk di kursi rotan yang berada di bawah jendela. Sementara Rangga berada di beranda kamar sewaannya yang menghadap ke taman.
Slap!
"Heh...?! Uts!"
Rangga mendadak terkesiap dan langsung memiringkan tubuhnya ke kiri ketika tiba-tiba telinganya yang setajam mata pisau, mendengar suara mendesir halus mengarah kepadanya. Sekejap dia melihat sebuah benda kecil berwarna hitam pekat meluncur deras ke arahnya. Benda kecil itu langsung menghantam daun pintu setelah lewat sedikit di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Bresss...!
Seketika itu juga daun pintu tersebut mengepul asap, kemudian hangus menghitam bagai terbakar. Tak berapa lama kemudian, pintu itu hancur jadi debu. Pandan Wangi yang berada di dalam kamar, tersentak kaget. Dia langsung melesat keluar. Tiba-tiba si Kipas Maut sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit dia menatap ke arah pintu yang sudah menjadi debu, teronggok di lantai.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Kembali ke dalam, Pandan. Jaga Ki Sarpa," sahut Rangga setengah berbisik.
"Tapi ada apa...?" desak Pandan Wangi.
"Ada tamu tak diundang," sahut Rangga tanpa berpaling sedikitpun juga.
Pandan Wangi bisa mengerti, dia bergegas melangkah mundur, kembali masuk ke dalam kamar sewaannya. Sementara Rangga mengayunkan kakinya ke luar dari beranda depan kamar. Perlahan kakinya terayun menginjak tanah berumput yang terawat apik. Pandangan matanya tetap tajam, menatap lurus ke arah datangnya benda kecil berbentuk jarum hitam yang dahsyat.
"Siapapun kau, keluarlah!" seru Rangga dengan pengerahan tenaga dalam pada suaranya.
"He he he he...," suara Rangga disahuti oleh suara tawa terkekeh.
Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Pendekar Rajawali Sakti perlahan memutar tubuhnya dengan mata tidak berkedip memandang sekeliling pelataran taman. Setiap sudut dia perhatikan dengan teliti. Namun pemilik suara tawa itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Suara tawa itu masih terus terdengar menggema.
"Hmmm... kau ingin bermain-main denganku rupanya...," gumam Rangga perlahan.
"Permainan yang menarik, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sahutan suara agak serak dan kering.
Rangga langsung membalikkan tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah-tengah taman penginapan sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah merah agak longgar dan panjang hingga menyentuh tanah.
Ditangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih keperakan dengan satu ujung bagian atas berbentuk kepala tengkorak manusia. Mata tengkorak itu memancarkan cahaya kuning kehijauan. Usia perempuan tua itu mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahunan. Rambutnya yang putih sudah berkurang, tergelung ke atas diikat dengan pita merah menyala.
"Boleh aku tahu, siapa Nisanak?" tanya Rangga dengan suara yang lembut dan terdengar ramah.
Dalam menghadapi siapapun, Rangga selalu bersikap ramah. Meskipun dia menduga kalau kemunculan perempuan tua berjubah merah ini tidak dengan membawa maksud yang baik. Namun Rangga tetap memperlakukannya dengan baik dan ramah. Lain halnya kalau dia dibuat marah. Pendekar Rajawali Sakti bisa bertindak tegas, bahkan dapat dikatakan kejam pada lawannya yang tak mau memperbaiki kesalahannya.
"Hik hik hik hik..., orang sering memanggilku Dewi Iblis Merah," sahut perempuan tua itu diiringi dengan suara tawanya yang mengerikan.
"Lalu apa maksudmu datang mengunjungiku?" tanya Rangga lagi.
"Aku datang untuk mengatakan kalau kau tidak ada perlunya datang ke sini. Dan sebaiknya segeralah enyah sebelum aku menyebarkan malapetaka padamu, Pendekar Rajawali Sakti," tegas sekali kata kata Dewi Iblis Merah.
"Aku hanya singgah sebentar disini, Nyai Dewi. Tanpa kau mintapun, aku memang hendak meninggalkan desa ini. Tapi nanti setelah urusanku di sini selesai," sahut Rangga kalem seraya tersenyum.
"Phuah...! Kau selalu saja mencanri-cari urusan, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak peduli dengan segala macam urusanmu! Aku beri kau waktu sampai fajar besok!"
"Maaf, Nyai. Urusanku disini tidak bisa selesai sampai besok. Mungkin bisa satu atau dua purnama baru selesai."
"Bedebah...! Rupanya kau memang sengaja datang ke sini mencari mampus, seperti orang-orang tolol itu!" sentak Dewi Iblis Merah sengit.
"Hm..., aku tidak mengerti maksudmu, Nyai."
"Jangan banyak berdalih, Pendekar Rajawali Sakti! Kau tinggal pilih satu diantara dua. Mati..., atau tinggalkan desa ini secepatnya!"
"Tapi..."
Belum juga Rangga sempat mengucapkan sesuatu, perempuan tua berjubah merah itu sudah melesat pergi. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Rangga menghembuskan napas panjang. Dia memutar tubuhnya dan berjalan menuju ke kamar. Tampak Pandan Wangi sudah menanti di ambang pintu yang tak berdaun lagi.
Rangga menghentikan langkahnya sekitar setengah tombak di depan Pandan Wangi. Sementara gadis itu merayapi wajah Rangga yang nampak agak kusut. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempaskan tubuhnya di balai bambu yang menempel pada dinding beranda depan kamar.
"Siapa perempuan tua itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Dewi Iblis Merah," sahut Rangga.
"Dia bilang apa padamu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Dia meminta kita segera meninggalkan desa ini sebelum fajar besok," sahut Rangga.
"Heh...! Enak saja mengusir orang!" sentak Pandan Wangi langsung sengit.
Watak asli si Kipas Maut itu kembali timbul. Dan selalu begitu bila sedang mengembara seperti ini. Watak yang dulu membuat Rangga sempat tergetar hatinya, kini terlihat lagi setelah sekian lama terpendam, selama berada di Istana Karang Setra.
"Punya hak apa dia mengusir kita, Kakang...?" masih sengit nada suara Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti. Dia hanya mengangkat bahunya sedikit. Sementara Pandan Wangi menatap lurus ke depan. Wajahnya nampak memerah. Dan membuat gadis itu semakin kelihatan cantik. Kecantikan seorang gadis akan terpancar disaat hatinya tersulut api kemarahan.
"Apa sih maunya dia...? Mengusir orang seenaknya saja, huh!" dengus Pandan Wangi memberengut.
"Mungkin dia merasa terganggu, Pandan," kata Rangga seenaknya saja.
"Apanya yang terganggu...?"
"Mana aku tahu? Bisa saja begitu. Soalnya dia mengenalku, Pandan. Padahal aku sendiri baru melihatnya tadi."
"Terus...? Kau akan menyerah begitu saja?"
Lagi-lagi Rangga tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu. Kemudian beranjak bangkit. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menggeliatkan tubuhnya, kemudian melangkah pergi. Pandan Wangi hanya memandanginya saja. Dia agak heran dengan sikap Rangga yang kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan masa bodoh dengan apa yang mereka hadapi saat ini. Cukup lama Pandan Wangi tidak bersama-sama lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia belum pernah melihatnya seperti sekarang ini.
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak keras suaranya.
"Jalan-jalan sebentar!" sahut Rangga tanpa berpaling sedikitpun juga.
Pendekar Rajawali Sakti terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang. Sementara Pandan Wangi sudah kembali masuk ke dalam kamar. Dia memandang laki-laki tua yang masih berbaring tak sadarkan diri di atas pembaringan yang cukup besar.
"Hhhh...!" sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi menghempaskan tubuhnya di kursi.
Bukan hanya tubuhnya saja yang penat. Tapi juga seluruh isi kepalanya seperti teraduk. Ini memang bukan hal baru lagi bagi Pandan Wangi. Sejak dilahirkan dia sudah berkecimpung di dalam ganasnya rimba persilatan. Dan bukan hal itu yang dia pikirkan. Yang membuat seluruh isi kepalanya memberontak adalah sikap Rangga yang tiba-tiba berubah aneh, tidak seperti biasanya. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti sudah menutupinya dengan bersikap biasa. Tapi Pandan Wangi tidak bisa dibohongi begitu saja.
"Pasti ada sesuatu yang membuat Kakang Rangga jadi aneh begitu..," desah Pandan Wangi dalam hati.
"Tapi apa...?"

***

Rangga memandangi bukit batu yang berdiri angkuh di depannya. Sebuah jurang tidak begitu besar, menghadang melintang di depannya. Untuk mencapai bukit itu, harus melewati jurang ini lebih dahulu, kemudian merambah hutan yang tidak begitu lebat, baru bisa mendaki bukit batu yang ada di seberang sana.
"Aku yakin, itu pasti bukit Gandrik," gumam Rangga pelan, berbicara dengan dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Tatapan matanya terpaku pada seorang gadis berusia sekitar empat belas tahunan yang tengah memandanginya sambil duduk di atas batu. Rangga tidak menyadari kalau ada orang lain di tempat yang sunyi ini. Dia menghampiri gadis itu, dan berdiri sekitar tiga langkah di depannya.
"Siapa kau, Adik Manis?" tanya Rangga lembut.
"Warti," sahut gadis itu menyebutkan namanya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Rangga lagi.
"Menunggu ayah," sahut Warti.
Rangga mengerutkan keningnya. Dia sudah cukup lama berada di tempat ini, dan sudah memeriksa keadaan sekitarnya. Tak ada seorangpun yang dijumpainya, kecuali gadis kecil itu. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti semakin menyipit saat melihat pandangan mata Warti, sepertinya dia sedang bicara dengan dirinya sendiri.
"Ke mana ayahmu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ke bukit itu," sahut Warti seraya menunjuk Bukit Gandrik.
Rangga mengarahkan pandangannya ke bukit batu yang ditunjuk gadis itu. Sebentar kemudian dia kembali menatap Warti dengan kening agak berkerut. Dia sudah banyak mendengar dari beberapa penduduk Desa Bulakan, kalau bukit itu tidak pernah didatangi orang. Mereka bilang bukit itu dihuni setan-setan kejam yang akan membunuh siapa saja yang mencoba memasukinya.
"Untuk apa ayahmu ke sana?" tanya Rangga lagi.
"Mengusir setan-setan di bukit itu," sahut Warti datar.
"Tapi sudah lebih dari tiga hari, ayah belum juga pulang. Aku takut mereka membunuh ayah di sana."
Sinar mata gadis itu semakin terlihat redup. Seluruh wajahnya terselimut kabut tebal. Rangga menempatkan diri, duduk disampingnya. Sedangkan Warti hanya diam saja dengan pandangan tidak beralih pada bukit batu di seberang jurang sana. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja.
"Kakang siapa?" tanya Warti setelah cukup lama membisu.
"Rangga. Panggil saja aku begitu," sahut Rangga sambil tersenyum.
Warti memandangi Rangga dalam-dalam, seakan dia sedang menyelidiki pemuda berbaju rompi putih yang tampan itu. Sedangkan Rangga membiarkan saja gadis itu memandanginya.
"Kakang hendak ke bukit itu juga?" tanya Warti tanpa melepaskan pandangannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mungkin," sahut Rangga agak mendesah.
"Sebaiknya jangan, Kakang," ujar Warti mencegah.
"Kenapa?"
"Sudah banyak orang mencoba ke sana. Tapi tak ada yang bisa kembali lagi. Bahkan ayahku saja sampai sekarang belum juga pulang."
"Apakah di sana banyak setannya...?" Rangga setengah bergurau.
"Aku tidak tahu. Tapi di sana ada candi tua yang sudah tidak terpakai lagi. Katanya di dalam candi itu tersimpan banyak senjata pusaka. Makanya banyak orang ingin memilikinya. Tapi tak ada seorangpun yang bisa kembali lagi."
"Jadi ayahmu ke sana juga ingin mendapatkan pusaka-pusaka itu?" Rangga langsung bisa menduga.
"Entahlah. Aku tidak tahu pasti," sahut Warti seraya mendesah panjang.
Rangga tersenyum kecil. Dia beranjak turun dari batu yang didudukinya. Pendekar Rajawali Sakti kembali teringat dengan mimpi dan bisikan-bisikan misterius yang dalam beberapa hari ini selalu menghantuinya. Namun setelah dia berada di Desa Bulakan, semua mimpi dan bisikan-bisikan aneh itu tidak pernah lagi datang.
Sebenarnya Rangga tidak ingin mempercayai dengan segala macam mimpi. Tapi karena bisikan-bisikan aneh itu terus mengganggunya, terpaksa dia harus membuktikan. Dan kepercayaannya mulai timbul saat dia menemukan beberapa petunjuk yang pernah dilihatnya di dalam mimpi.
Bahkan tempat-tempat yang didatangi sama persis dengan semua yang pernah didatanginya dalam mimpi. Bahkan bukit batu itu yang membuat keyakinannya semakin bertambah tebal. Kalau mimpi yang kerap datang mengunjunginya bukan mimpi biasa. Melainkan sebuah petunjuk yang mengharuskannya berada di desa ini.
"Kau tinggal di mana, Warti?" tanya Rangga.
"Di Desa Bulakan. Sekarang aku tinggal dengan ibu saja," sahut Warti.
"Aku antar kau pulang." kata Rangga menawarkan jasa.
"Aku masih ingin di sini," Warti menolak.
"Sudah hampir malam, ibumu pasti sudah cemas menunggu," Rangga mengingatkan.
Warti memutar kepalanya, menatap ke arah matahari yang sudah demikian condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti siang tadi. Kini terasa lembut membelai kulit. Tanpa berkata apa-apa sedikitpun, Warti mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Sebentar Rangga hanya memandangi saja. Kemudian dia ikut melangkah dan mensejajarkannya di samping gadis itu.

***

125. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Candi TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang